Selasa, 04 Desember 2012

WADAH DAN ISI


Oleh: Riza Sativani Hayati/12708251080/Pendidikan Sains/D


Perkuliahan Filasafat Ilmu ke-12, Dr. Marsigit kembali mengungkap mengenai wadah dan isi, jadi untuk refleksi kali ini saya tertarik untuk mengungkap mengenai wadah dan isi. Sebenarnya makna apa yang tersirat dari ungkapan wadah dan isi? Tentunya setiap isi harus memiliki wadah dan setiap wadah harus memiliki isi, bahkan wadah yang kosong pun memiliki isi. Setiap orang memiliki status, itulah wadah dan isinya. Seperti yang dinukilkan dalam elegi menggapai wadah dan isi dari http://powermathematics.blogspot.com, dikatakan bahwa jika siswa adalah wadah, maka isinya adalah kemampuannya dan kepribadiannya. Jika mahasiswa adalah wadah, maka kemampuan dan kepribadian adalah isinya. Jika guru adalah wadah, maka kemampuan dan kepribadian adalah isinya. Jika dosen adalah wadah, maka kemampuan dan kepribadian adalah isinya. Lalu bagaimana gambaran wadah dan isi kita jika kita sekarang sedang menjadi guru sekaligus mahasiswa? Berikut gambaran dari elegei menggapai wadah dan isi Dr. Marsigit.
Sebagai seorang guru, maka isi kita adalah rasa syukur bahwa kita telah menjadi guru, kemudian rasa syukur kita ini akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi guru yang baik dan berprestasi. Untuk mewujudkan cita-cita kita menjadi guru yang baik maka kita perlu menyesuaikan sikap dan perbuatan kita. Menyesuaikan sikap dan perbuatan kita sebagaimana yang kita inginkan, yakni seorang guru yang baik dan berprestasi. Tidak hanya itu, kita juga  harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk senantiasa mencari dan menambah  ilmu agar memperoleh keterampilan sebagaimana yang dituntut dari seorang guru yang baik dan berprestasi. Sebagai seorang guru kita jangan cepat puas atas pencapaian kita. Sebagai seorang guru, maka wadah kita adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawab kita sebagai guru. Senantiasa ingat bahwa apa yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. 
Sebagai seorang mahasiswa, maka isi kita adalah rasa syukur bahwa kita telah menjadi mahasiswa, seperti yang diungkapkan Prof Sukardjo, kita adalah yang sedikit dari yang sedikit. Rasa syukur kita akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi mahasiswa yang baik dan berprestasi. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlulah kita menyesuaikan sikap dan perbuatankita dengan apa yang kita inginkan, yaitu sebagai seorang mahasiswa yang baik dan berprestasi. Kita juga harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk selalu mencari dan menambah ilmu kita agar engkau memperoleh keterampilan yang dituntut sebagai seorang mahasiswa yang baik dan berprestasi. Jangan sampai kita mudah untuk puas akan pencapaian hasil belajar kita, senantiasa senang mengembangkan dan mencari pengalaman. Sebagai seorang mahasiswa maka wadah kita adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawab kita sebagai mahasiswa. Senantiasa ingat bahwa apa yang kita lakukan akan dimintai  pertanggungjawabannya oleh Allah. 
Oleh karena itu, ada atau tidaknya wadah tergantung bagaimana mengisi wadah itu. Wadah kita bisa sempit bisa juga luas, bisa kecil bisa juga besar, bisa penting bisa juga tidak penting, bisa ada bisa juga tidak ada. Jadi wadah tidaklah mempunyai batas dengan isi. Wadah akan selalu hadir ketika kita wujudkan isi kita. Jadi wadah tidak lain tidak bukan adalah isi. Sehingga kita perlu mengevaluasi diri jika kita hanyalah guru atau mahasiswa yang mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya atau hanya mengejar isi tetapi tidak mau mengenal wadahnya.
Tidak bisa wadah tanpa isi dan isi tanpa wadah. Kesemuanya harus berjalan beriringan. Wadah dan isi pun harus seimbang, tidak bisa isi lebih banyak dari wadah dan tidak bisa pula wadah  yang lebih besar daripada isinya, jika demikian, maka yang terjadi adalah ketimpangan. Jika status itu adalah wadah dan isi seseorang, maka status itu yang akan timpang. Semoga ini bisa menjadi bahan refleksi kita yang senantiasa ingat akan wadah dan isi kita, tanpa melupakan salah satunya.

Daftar Pustaka:

Dr. Marsigit. 2010. Elegi Hamba Menggapai Wadah dan Isi. Diambil dari http://powermathematics.com.


Senin, 26 November 2012

TERGOLONG KAUM APAKAH KITA? Industrialis, Konservatif, Humanis, ataukah Progressive?


Oleh : Riza Sativani Hayati/12708251080/Pendidikan Sains/D

Pada perkuliahan Filsafat Ilmu ke-11 ini, sempat membuat kami para mahasiswa tercengang. Bagaimana tidak? Di tengah perkuliahan, kami diminta oleh Prof. Dr. Marsigit menuliskan satu kata yang mewakili “pendidikan” dari intuisi kami. Intuisi saya langsung tertuju pada kata “transfer”. Karena dalam pemikiran saya, pendidikan adalah transfer knowledge, transfer skill, dan transfer value. Kemudian Bapak Marsigit memberikan nomor pada masing-masing jawaban kami, dan nomor yang saya dapatkan adalah nomor 1. Apa maksud dari nomor tersebut? No. 1 berarti menunjukkan bahwa saya adalah kaum industrialis. Dalam benak saya langsung muncul banyak pertanyaan. Apa ini maksudnya? Apakah saya seorang kapitalis? Abdi Amerika? Ternyata menurut Prof. Dr. Marsigit, kata transfer menunjukkan ciri seorang Industrialis. Beliau menyampaikan, ada lima penggolongan manusia, yakni sebagai kaum industrialis, konservatif, humanis, progressif, atau socio konstruktif. Berikut akan sedikit dibahas pengertian dari keempat istilah tersebut, yaitu: industrialis, konservatif, humanis, dan progressif.
Kaum Industrialis biasa disebut dengan sebutan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Beberapa mendifinisikan kapitalisme merupakan sebuah sistem. Sampai saat ini, kapitalisme dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang hanya menginginkan keuntungan belaka. Kritik akan keberadaan kapitalisme itu sendiri dikarenakan kapitalisme sebagai bentuk suatu penindasan terhadap masyarakat kelas bawah, inilah yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan aliran ini banyak di kritik dan ditentang. Terdapat tiga unsur yang sangat penting seseorang atau sekelompok orang dapat dikatakan menganut kapitalisme, yaitu akumulasi, ekspansi, dan eksploitasi. Akumulasi adalah penumpukan atau penimbunan keuntungan dengan tujuan memperkaya dirinya sendiri. Ekspansi, yaitu memperluas, suatu metode atau cara yang dilakukan untuk mendapatkan keutungan yang lebih dengan cara menambah jumlah, yang tadinya hanya memiliki satu perusahaan di satu tempat, kemudian para kaum kapital menambahkan jumlah menjadi dua atau lebih, dan itu bisa di suatu tempat yang sama ataupun berbeda dengan bertujuan agar apabila para kapital menambahkan jumlah produksinya terebut maka keuntungan yang akan didapat besarnya akan berkali kali lipat sesuai dengan jumlah hasil produksi tersebut. Agar lebih mudah memahaminya, seperti contohnya apa yang dilakukan oleh sebuah mini market (indomart, alfamart, circle K, dan lain-lain), mall, dan masih banyak lagi. Sedangkan eksploitasi ialah mengeruk ataupun menghisap semua baik itu dari SDA maupun SDM. Bila dari sudut SDAnya seperti apa yang dilakukan oleh PT.FREEPOT yang ada di Irian, perusahaan tersebut mengeruk atau menghisap hasil SDA yang ada disana seperti emas sampai habis tanpa melihat dampak yang akan terjadi, itu semua bertujuan agar pihak kapital tersebut mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri, sedangkan bila dari sudut SDMnya seperti perusahaan atau pabrik yang mengeruk atau menghisap tenaga, waktu dan sebagainya terhadap para pekerja pabriknya yang berdampak merugikan bagi pihak para pekerja pabrik tetapi akan menguntungkan pemilik pabrik (http://saptiangila.blogspot.com/search/label/pengertian%20 kapitalisme). Lantas dari penjabaran tersebut saya merasa berharap tidak memenuhi ketiga unsur tersebut, jadi saya katakan TIDAK untuk menjadi kaum industrialis.
Kalangan konservatif atau kanan, dalam tradisi politik di Amerika diwakili oleh Partai Republik, cenderung pada bentuk pemerintahan yang langsing, ramping, dan kecil. Karena hanya bentuk pemerintahan seperti inilah yang bisa menangkal kemungkinan terjadinya korupsi, salah-urus, selain murah dan efektif. Kaum konservatif melihat pemerintahan sebagai semacam “necessary evil” atau kejahatan yang terpaksa harus dilakukan karena adanya maslahat tertentu yang bisa dicapai melalui institusi itu. Kaum konservatif jelas bukan kaum anarkis. Meskipun mereka curiga pada pemerintah dan negara, mereka sangat membenci “anarki” dan menekankan “order” atau keteraturan. Bagi mereka, mekanisme sosial yang paling baik untuk mempertahankan keteraturan adalah tradisi, nilai-nilai, asosiasi sukarela yang dikelola sendiri oleh masyarakat, semacam “jam’iyyah” seperti dipahami oleh warga Nahdlatul Ulama (NU). Itulah yang menjelaskan kenapa kaum konservatif sangat peduli dengan lembaga keluarga. Bagi kaum konservatif, jika ada anggota masyarakat jatuh sakit atau bangkrut, bukan tugas negara untuk menolongnya. Yang pertama-tama wajib memberikan uluran tangan adalah keluarga, tetangga atau komunitas yang menjadi “pengayom” orang bersangkutan. Masyarakat mempunyai “mekanisme sosial” untuk mengatasi “penyakit sosial” yang muncul di kalangan mereka. Negara tak usah ikut campur. Sebagaimana saya katakan di atas, mereka curiga pada pemerintah dan negara, dan lebih percaya pada kekuatan lembaga sosial. Inilah filosofi kaum konservatif atau kanan (http://www.sumbarprov.go.id /artikel.php).
Di seberang kaum konservatif kita jumpai sejumlah pandangan, mazhab, dan arus pemikiran yang bermacam-macam, dan karena tak ada istilah tunggal yang bisa merangkum semuanya, kita sebut saja arus pemikiran kedua ini sebagai kaum kiri (dalam tradisi politik Amerika diwakili oleh Partai Demokrat). Dalam pandangan mazhab kedua ini, negara adalah institusi yang menjadi harapan pokok masyarakat. Negara adalah “the great dispenser of social welfare”. Negara adalah institusi yang membagi-bagikan tunjangan kepada masyarakat yang tidak mampu. Negara dibebani tugas besar untuk mengatasi semua “kegagalan sosial” yang ada dalam masyarakat. Karena negara mendapat tugas yang besar, dengan sendirinya negara menjadi gemuk, bongsor, dan menggelembung. Mazhab ini mengkritik kalangan kanan atau konservatif dengan argumen yang tak kalah menariknya. Bagi mereka, mengandaikan masyarakat sebagai sebuah “pasar” yang bekerja menurut hukum-hukum tertentu, sangat tidak realistis. Bentuk masyarakat seperti itu tak ada dalam dunia kongkrit. Negara tidak bisa duduk mencangkung sebagai penonton saja saat terjadi malapetaka dalam masyarakat. Negara harus turun tangan dan ikut menyelesaikannya. Negara tak bisa membiarkan masyarakat mengatasi masalah sendiri. Alasan berdirinya negara adalah persis untuk menolong masyarakat, bukan sekedar menjadi “polisi yang menjaga lalu-lalang lalu-lintas”. Kaum kiri, dengan kata lain, melihat negara sebagai “mesiah” yang diharapkan memberikan pertolongan dalam semua hal (http://www.sumbarprov.go.id/artikel.php). Mengenai penjabaran di atas, nampaknya saya juga mengatakan TIDAK untuk menjadi anggota golongan kaum konservatif.
Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan, humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai “sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia”, bukannya pada otoritas supernatural mana pun. Dewasa ini, humanisme telah menjadi nama lain bagi ateisme. Salah satu contohnya adalah antusiasme terhadap Darwin yang khas pada majalah Amerika, The Humanist. Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh pendukungnya. Salah seorang juru bicara humanisme paling terkemuka di masa kini adalah Corliss Lamont. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis yang intinya humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi. Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis (http://rykers.blogspot.com/). Saya seorang yang beragama muslim, jadi saya katakan TIDAK dengan lantang untuk menjadi kaumnya humanis.
Ada tiga tilopogi kaum progresif menurut Laode Ida. Pertama, kaum progresif-transformis, yakni mereka yang secara intern mengupayakan penyadaran terhadap subyek dengan harapan subyeklah yang akan mengubah dirinya sendiri serta melakukan perubahan dalam komunitas yang lebih luas. Mereka ingin melakukan pencerahan  agar tidak terjebak dalam persoalan politik pragmatis, sehingga nantinya dapat mentransformasikan programnya dalam berbagai hal dan berbagai wilayah kehidupan. Kedua, progresif-radikalis, yakni mereka yang memperjuangkan kesetaraan [egalitarian] dengan menjunjung tinggi atau bersdandar pada nilai-nilai HAM dan kultur dasar komunitas. Kelompok ini sering disebut sebagai virus pemikiran dan gerakan kiri atau sekuler. Ketiga, progresif-moderat, yakni mereka yeng memiliki ide-ide tentang perubahan tetapi tidak memiliki  ideologi  yang jelas dan konsisten diperjuangkan. Mereka tidak mau total sebagaimana kedua kelompok pertama, karena mereka ingin berada ditengah-tengah terhadap arus yang ada. Ketiganya itu telah menjadi corak berfikir kalangan  muda, sehinga menjadi begitu radikal, progresif, liberal dan pluralis. Mereka banyak bergabung dalam organisasi dan LSM yang mampu menampung cara berfikir mereka (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,12-id,7999-lang,id-c,buku t,NU+Muda++Kaum+Progresif+dan+Sekularisme+ Baru-.phpx). Dari penjabaran ini, mungkin saya lebih condong ingin menjadi kaum progressif-transformis.
Wallahu’alam bi shawab. 

Rabu, 14 November 2012

GLOBALISASI SEBAGAI GERBANG PERANG PEMIKIRAN



1.      Pertanyaan:
Di era saat inirakyat Indonesia tidak terlepas dari arus globalisasi, menurut ibu, apa yang dimaksud globalisasi itu dari segi ontology dan aksiologi?
Jawaban :
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal atau sesuatu yang berkaitan dengan dunia internasional atau seluruh alam jagad raya. Secara ontology globalisasi dapat kita mengerti sebagai meningkatnya hubungan internasional dan saling keterkaitan di antara berbagai belahan dunia melalui terciptanya proses politik,ekonomi, dan perubahan kebudayaandi dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Karena globalisasi negara satu dan negara lainnya terjadi saling ketergantungan, membentuk pergaulan internasional dan membentuk satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.  Pengertian yang saya berikan ini mungkin kurang tepat karena globalisasi bersifat multi-dimensional dan tergantung cara pandang masing-masing.Secara aksiologi globalisasi dapat kita lihat dari berbagai dampak positif yang ditimbulkannya.
Tanggapan:
Ya, saya sepakat dengan jawaban Ibu, yang perlu kita tekankan mengenai pengertian globalisasi secara ontologi adalah hilangnya batas antar negara dalam  baik batas geografis, ekonomi dan budaya, sehingga antar satu negara dengan negara lain dapat melakukan transfer budaya dan komunikasi secara langsung tanpa ada batas apapun. Sedangkan secara aksiologi, nah, menurut saya kesalahan kita adalah selalu memandang globalisasi dari segi positifnya saja, jadi kita kurang memberikan alat filtrasi pada arus globalisasi tersebut.
2.      Pertanyaan:
Apa saja dampak positif globalisasi?
Jawaban:
Berbagai manfaat atau dampak positif dari globalisasi adalah:
a.       meningkatnya hubungan antar negara sehingga berpengaruh dalam berbagai bidang
b.      mempermudah arus modal dan barang hasil produksi dari negara lain dan meningkatkan perdagangan internasional sehingga mempermudah setiap orang memenuhi kebutuhan hidup
c.       meningkatnya telekomunikasi berkat ditemukannya telepon genggam dan internet sehingga mempercepat penyebaran informasi
d.      meningkatnya transportasi (mobilitas tinggi) berkat ditemukannya pesawat jet pasca perang dunia II
e.       memberi kenyamanan dalam beraktifitas karena semua telah tersedia dan ini cocok untuk kaum hedonisme
f.       mempercepat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
g.      menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran
h.      memacu untuk meningkatkan kualitas diri
i.        bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti piala dunia fifa.
j.        berkembangnya proses dan kesadaran  berdemokrasi
Tanggapan:
Bagus Bu, saya sepakat dengan apa yang Ibu sampaikan.
3.      Pertanyaan:
Apa saja dampak negatif globalisasi?
Jawaban:
Berbagai manfaat atau dampak positif dari globalisasi adalah:
a.       Pertumbuhan kapitalisme, yaitu sistem dan paham ekonomi yang modalnya  bersumber dari modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.  Perdagangan bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat  sehingga terjadi ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional.  Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat, timbul masalah pengangguran yang semakin meningkat dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk.
b.      komunikasi global terjadi begitu cepat dan pergerakan turisme menyebabkan masuknya berbagai kebudayaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat kita sebelumnya
c.       meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
d.      tumbuhnya perilaku konsumtif (konsumerisme), meningkatnya materialism dan hedonism.  Pornografi juga merajalela
e.       arus globalisasi yang menyebabkan demokratisasi di banyak Negara berkembang banyak memunculkan sikap dan tindakan anarkis karena penguasa atau elit politik dianggap sudah tidak lagi memperhatikan nasib dan kepentingan rakyat.  Wawasan kebangsaan semakin terpuruk sehingga menimbulkan disintegrasi bangsa.
Tanggapan:
Benar Bu, saya juga sepakat, ada banyak hal yang perlu kita sadari dari dampak negatif globalisasi tersebut. Perlunya filtrasi bagi arus globalisasi tersebut.
4.      Pertanyaan:
Bagaimana seharusnya kita menyikapi globalisasi tersebut?
Jawaban:
Pada era Power Now sekarang ini, kita tidak bisa menghindar dari globalisasi.  Hal-hal yang baik dan bermanfaat kita pakai saja dan pengaruh negatifnya sebisa mungkin kita reduksi.  Kita harus mempunyai penyaring (filter) untuk menghadapinya agar kita tidak terlindas oleh jaman. Terutama kita harus menyaring berbagai budaya yang tidak sesuai.  Untuk menyaring nilai-nilai negatif maka kita harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menempatkan spiritual kita di atas segala-galanya dan menjadi komandan di setiap langkah hidup kita. Kita harus menjadi manusia yang cerdas tetapi bernurani dan berjiwa manusiawi.Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Tanggapan:
Sepakat Bu, begitu banyaknya dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan dari globalisasi, sehingga kita harus peka terhadap ruang dan waktu, tahu pada saat apa dan dalam kondisi yang bagaimana kita harus meletakkan filter arus globalisasi tersebut.
5.      Pertanyaan:
Negara barat saat ini tidak lagi banyak menggunakan perang fisik untuk menguasai negara-negara berkembang, mereka lebih kepada perang pemikiran.
Apakah ibu setuju dengan hal tersebut? Alasan?
Jawaban:
Saya tidak setuju sepenuhnya karena perang fisik yang ditunggangi oleh Negara-negara barat masih terjadi. 
Tanggapan:
Benar Bu, akan tetapi saat ini tanpa kita sadari perang pemikiran dari negara barat masuk pada negara-negara berkembang. Perang fisik hanya terjadi pada negara-negara yang tertentu saja, kebanyakan negara timur tengah, seperti Palestine, dan sebagainya. Akan tetapi banyak negara di dunia ini sebenarnya terjajah oleh perang pemikiran yang diluncurkan kaum barat.
6.      Pertanyaan:
Menurut ibu, apakah yang dimaksud perang pemikiran tersebut?
Jawaban:
Sebenarnya saya tidak paham masalah politik dan perang pemikiran menurut saya sudah bernuansa politik.  Perang pemikiran  bisa dianggap sebagai usaha merusak pola pikir dan akhlak melalui system kehidupan dan program-program hiburan yang dikemas dengan menarik
Tanggapan:
Iya, benar Bu, seperti itulah perang pemikiran itu. Jika di dalam Islam, kita lebih mengenalnya dengan Ghozwul Fikr, yaitu penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam untuk merubah yang ada di dalamnya sehingga tidak bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar. Perang dengan strategi seperti ini terbukti ampuh untuk menghancurkan umat Islam bila dibandingkan dengan perang secara militer. Kenapa? Kalau musuh-musuh Islam ingin menghancurkan ummat Islam dengan berperang secara militer, mereka akan kalah karena jumlah ummat Islam di dunia sangat banyak. Tapi, metode ghazwul fikr yang mereka lakukan mampu memecahbelah umat Islam sehingga jumlah ummat Islam yang benar-benar tahu dan mencintai Islam berkurang drastis.
7.      Pertanyaan:
Apakah ibu setuju juga dengan globalisasi sebagai salah satu gerbang pembuka jalan menuju peluncuran perang pemikiran?
Jawaban:
Setuju, Globalisasi sering disimbolkan dengan tiga dewa yaitu dewa Mammon (materialisme), Mars (perang/kekerasan) dan Eros (pornografi). 
Sekarang ini materi seolah-olah telah menjadi ukuran segala sesuatu. Dalam masyarakat mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan seremonistik. Nilai agama telah diganti menjadi nilai Mammon yaitu nilai uang. Maka berkembanglah hedonisme, yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan belaka. Akibatnya, hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan materi.
Dewa Mars adalah simbol kedua globalisasi.   Dewa Mars globalisasi bukan hanya perangtetapi juga terorisme dan kekerasan yang terjadi di mana-mana.  Bom yang meledak di mana-mana, perampokan, pembunuhan, penculikan dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah dan wajar dalam kehidupan manusia masa kini.Kekerasan yang terjadi bukan hanya terhadap sesama manusia tetapi juga terhadap lingkungan hidup sehingga terjadi banjir bandang, longsor, kekeringan dan berbagai kerusakan lingkungan yang berakibat fatal.
Dewi Eros dalam globalisasi melambangkan erotisme (pornografi)yang merusak moral banyak manusia di dunia dengan penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak mendidik. Pemujaan terhadap seks di dunia maya membawa nilai baru dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan perempuan dan hubungan antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap gender.
Tanggapan:
Super Bu, saya sepakat dengan Ibu. Globalisasi merupakan salah satu jalan terbaik untuk meluncurkan senjata-senjata perang pemikiran tersebut.
8.      Pertanyaan:
Apa saja peran globalisasi dalam peluncuran perang pemikiran?
Jawaban:
Tentu saja globalisasi menyebabkan perang pemikiran lebih cepat merajalela dan dampaknya lebih luas karena semua hal sekarang dapat diakses dengan mudah.
Tanggapan:
Benar Bu, pemikiran yang mengelabuhi kita itu akan lebih mudah tersebar merajalela menular melalui internet, TV, dan media lain yang juga merupakan jalan masuknya arus globalisasi.
9.      Pertanyaan:
Menurut ibu, apa saja sarana yang digunakan Negara barat untuk meluncurkan perang permikiran tersebut?
Jawaban:
Sarana yang digunakan:
a.       Teknologi, internet dan media audio visual yang menghadirkan berbagai tontonan hedonism
b.      Melalui “kebudayaan internasional” atau “modernisme”, dimotori oleh Eropa dan Amerika yaitu dengan cara mengekspor kebudayaan mereka ke belahan dunia terutama melalui dominasi film-film Hollywood
c.       Kapitalisme internasional yang merobohkan ekonomi lokal dan menawarkan berbagai kemudahan memperoleh barang dan mendorong masyarakat bersifat konsumerisme dan materialisme
Tanggapan:
Benar Bu, menurut artikel yang saya baca,
Tujuanperang pemikiran tersebut antara lain menjauhkan umat Islam dari agamanya, berusaha memasukkan yang sudah kosong Islamnya ke dalam agama kafir, dan memadamkan cahaya agama Allah. Sedangkan metode untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dengan pendangkalan/peragu-raguan, pencemaran/pelecehan, penyesatan, dan westernisasi. Westernisasi bisa berupa fun, food, and fashion. Metode ini dilakukan melalui media massa yang berupa media cetak maupun elektronika.
10.  Pertanyaan:
Bagaimana dampak penggunaan sarana tersebut dalam perang pemikiran?
Jawaban:
Dampaknya bisa kita lihat, sangat efektif dan efisien.
Tanggapan:
Iya Bu, memang bisa kita lihat, Hasilnya antara lain umat Islam menyimpang dari Al Qur’an dan sunah, minder dan rendah diri, ikut-ikutan, dan terpecah-belah.
11.  Pertanyaan:
Apakah sudah terlihat dampak perang pemikiran di Indonesia?  Kalau iya apa saja?
Jawaban:
Dampak perang pemikiran tampak jelas di seluruh dunia termasuk Indonesia.  Seperti yang saya sebutkan di atas, kehidupan masyarakat kita mulai bersifat materialism.  Gotong royong mulai hilang.  Terorisme dan kekerasan ada di mana-mana dan bisa kita lihat beritanya di televisi setiap hari.  Pornografi merajalela di mana-mana,  Nilai-nilai dan kaidah agama serta norma kesusilaan di masyarakat mulai ditinggalkan.
Tanggapan:
Benar Bu, saya sepakat. Yang paling nampak di Indonesia adalah merebaknya efek westernisasi berupa fun, food, and fashion tadi. Masyarakat lebih suka mengikuti tren fashion yang tidak menutup aurat, menikmati makanan junkfood ala orang barat yang kehalalan dan kesehatannya kurang terjamin, dan fun seperti musik, film, dan entertainment yang lain yang semakin menjauhkan masyarakat dari syariat islam.
12.  Pertanyaan:
Bagaimana sikap kita seharusnya menyikapi hal tersebut?  Langkah konkret apa yang sebaikanya kita lakukan?
Jawaban:
a.       Yang paling utama kita harus membentengi diri dan generasi penerus melalui peningkatan iman dan taqwa.Sikap sebagai seorang muslim dalam menghadapi kehidupan adalah dengan tetap istiqamah dalam hidayah Allah swt.
b.      Pejabat harus memberikan keteladanan sikap dan pemikiran.
c.       Meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa
d.      Melestarikan nilai-nilai luhur bangsa misalnya gotong royong
Tanggapan:
Benar Bu, saya sepakat. Perlunya filtrasi dalam diri kita, masyarakat kita, dan negara kita sendiri. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita juga menjadi hal yang lebih penting, karena sebenarnya keimanan dan ketakwaan itulah yang menjadi filter perang pemikiran yang datang melalui globalisasi.

Senin, 15 Oktober 2012

REFLEKSI 5 KULIAH FILSAFAT ILMU: Memahami Para Dewa


Oleh:
Riza Sativani Hayati, NIM. 12708251080, PPs Pendidikan Sains Kelas D


Perkuliahan kelima Filsafat Ilmu dari Dr. Marsigit adalah mengenai transendensi yang diambil dari “The Critique of Pure Reason” oleh Immanuel Kant. Dr Marsigit menjelaskan melalui logika “Para Dewa”.
Guru adalah dewa bagi siswanya,
Dosen adalah dewa bagi mahasiswanya,
Mahasiswa senior adalah dewa bagi mahasiswa junionya,
Ibu adalah dewa bagi anak-anaknya,
Kita adalah dewa bagi diri kita sendiri,
Bahkan koruptor pun adalah dewa.
Dewa adalah dia yang memiliki dimensi lebih tinggi, meliputi yang ada dan yang mungkin ada, subjek dari semua objeknya. Dewa memiliki bahasa dewa untuk berkomunikasi, itulah yang menyebabkan kita sulit berkomunikasi dengan dewa. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memahami bahasa dewa. Ibaratnya jika kita adalah seorang guru, kita adalah dewa bagi siswa kita, siswa kita akan susah memahami bahasa kita. Oleh karena itu sangat diperlukan menggunakan bahasa yang tepat untuk siswa kita. Jangan salahkan siswa kita jika mereka tidak faham materi yang kita jelaskan. Introspeksi bahasa yang digunakan guru sangatlah penting. Namun disamping itu salah juga kita jika siswa tidak memahami bahwa kita adalah dewa bagi mereka. Begitu pula dengan koruptor. Koruptor susah untuk ditangkap karena mereka memiliki bahas sendiri yang kita sebagai orang awam belum memahami bahasanya. Oleh karena itu diperlukan orang yang juga dewa untuk menangkapnya, yakni orang yang berilmu, mau berperang tanpa putus asa, dan berdoa sebagai pedangnya.  
Masing-masing dewa harus memiliki kebijakan dalam memandang pengikutnya, begitu pula para pengikut dewa harus memiliki kebijakan dalam memandang dewanya. Berusaha saling memahami bahasa yang digunakan dan bersikap bijak atas apa yang disampaikan. Sehingga tercipta kenyamanan diantara para dewa dan pengikutnya.

Pertanyaan:
1.    Dr Marsigit mengatakan bahwa kita sebagai guru salah jika siswa kita tidak memahami kita sebagai dewa, apakah maksud Bapak kita sebagai guru senantiasa menempatkan diri kita di atas siswa atau sekedar memiliki wibawa di depan siswa saja?
2.    Dari beberapa elegi, Bapak menggunakan kata-kata transenden. Apakah arti transenden itu sebenarnya? Apakah transenden dapat diartikan sebagai penguasa, yang berkuasa atas sesuatu, atau pikiran yang menguasai?