Tampilkan postingan dengan label BIOLOGI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BIOLOGI. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Juli 2011

KEGIATAN VERMIKOMPOSTING

A.     TUJUAN
Mengetahui prosedur pembuatan vermikomposting

B.     DASAR TEORI
Proses Vermikomposting dan Vermikompos
Konsep vermikomposting dimulai dari pengetahuan tentang spesies cacing tanah tertentu yang memakan sisa bahan organik, mengubah sisa bahan organik menjadi tanah menghasilkan unsur hara tanah yang menguntungkan lingkungan. Cacing tanah E. Fetida dan L. Rubellus yang digunakan untuk vermikomposting memiliki kategori ekologi yaitu epigeic, habitat di kotoran atau sampah serta makanan bahan-bahan organik (Lavelle et al, 1999).
Menurut Dominguez et al (1997) mendefinisikan vermikomposting sebagai proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjsama antara cacing tanah dan mikroorganisme. Komponen utana dalam vermikomposting terdiri atas: kesesuaian substrat, faktor lingkungan, jenis cacing tanah, desain composer dan pengoperasian. Kualitas vermikompos dari limbah organik yang dihasilkan tergantung dari bahan organik awalnya seperti kotoran hewan,sampah dedaunan, dampah perkotaan dan limbah industri.
Vermikomposting merupakan proses bioksidasi dan stabilisasi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme (Dominguez et al, 1997). Proses ini berlangsung dalam rentang waktu suhu mesofilik (35-40oC) dimana zat hara tumbuhan seperti nitrogen, kalium dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan (Ndegwa & Thompson, 2001).
Proses vermikomposting lebih cepat pada pengomposan tradisional karena bahan-bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang mengandung banyak aktivitas mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi bahan organik (Dominguez et al, 1997a). Keunggulan vermikompos yang dihasilkan dari proses vermikomposting mengandung banyak aktivitas, populasi dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga mengandung beberapa enzim seperti protease, amylase, lipase, selulase dan kitinase (Subler et al, 1998).
Menurut Lavelle et al (1997) empat komponen yang menentukan keberhasilan vermikomposting adalah: kesesuaian substrat, faktor lingkungan yang tepat, cacing tanah yang sesuai, desain composter dan pengoperasiannya. Dalam vermikomposting yang harus diperhatikan adalah lingkungan hidup yang baik, sumber makanan, kelembaban dan aerasi yang tersedia cukup serta perlindungan terhadap suhu tinggi akibat proses dekomposisi awal oleh mikroorganisme (Munore, 2004).
Cacing tanah mempercepat stabilisasi bahan organik dengan bantuan mikroorganisme aerob dan anaerob yang terdapat di saluran pencernaan cacing tanah. Cacing tanah merubah bahan organik secara alami menjadi bentuk yang halus, mengandung humus dan vermikompos yang merupakan nutrisi penting bagi tumbuhan. Mikroorganisme menyebabkan degradasi secara biokimia bahan organik dan cacing tanah memiliki peran mengubah substrat melalui aktifitas secara  biologi. Mikroorganisme  yang berperan dalam vermikomposting terutama bakteri, fungi dan actinomycetes (Dominguez et al, 1997).
Vermikomposting menghasilkan 2 manfaat utama yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al, 2005). Vermikompos memiliki struktur halus, partikel-partikel humus yang stabil, porositas, kemampuan menahan air dan aerasi, kaya nutrisi, hormon, enzim dan populasi mikroorganisme (Lavelle at al, 1999). Vermikompos yang dihasilkan berwarna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997).
Chaudhuri & Bhattacharjee (2002) mensyaratkan cacing tanah yang digunakan dalam proses vermikomposting memiliki laju reproduksi yang tinggi, tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu perkembangan kokon yang pendek dan keberhasilan penetasan kokon yang tinggi. Selain itu, cacing tanah yang memiliki tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi dan toleransi terhadap perubahan lingkungan yang luas dapat digunakan di dalam proses vermikomposting (Edwards, 1998; Dominguez et al, 2000).
Mengenal Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan verteberata yang hidup di tempat yang lembab dan tidak terkena matahari langsung. Kelembaban ini penting untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuhnya. Kelembaban yang dikehendaki sekitar 60 - 90%. Selain tempat yang lembab, kondisi tanah juga mempengaruhi kehidupan cacing seperti pH tanah, temperatur, aerasi, CO2, bahan organik, jenis tanah, dan suplai makanan. Diantara ke tujuh faktor tersebut, pH dan bahan organik merupakan dua faktor yang sangat penting. Kisaran pH yang optimal sekitar 6,5 - 8,5. Adapun suhu ideal menurut beberapa hasil penelitian berkisar antara 21-30 derajat celcius. Cacing yang dapat mempercepat proses pengomposan sebaiknya yang cepat berkembang biak, tahan hidup dalam limbah organik, dan tidak liar. Dari persyaratan tersebut, jenis cacing yang cocok yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, dan Pheretima asiatica. Cacing ini hidup dengan menguraikan bahan organik. Bahan organik ini menjadi bahan makanan bagi cacing. Untuk memberikan kelembaban pada media bahan organik, perlu ditambahkan kotoran ternak atau pupuk kandang. Selain memberikan kelembaban, pupuk kandang juga menambah karbohidrat, terutama selulosa, dan merangsang kehadiran mikroba yang menjadi makanan cacing tanah.
Kebutuhan Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan bersegmen tanpa tulang belakang yang  berukuran panjang, tipis, berbentuk silindris, tubuhnya simetri bilateral. Tubuhnya berwarna cokelat gelap, berkilauan dan dilapisi oleh kutikula halus. Cacing tanah merupakan hewan biseksual (hermaprodit) dan fertilisasi silang terjadi sesuai aturan. Kopulasi bisa terjadi selama 1 jam, lalu cacing berpisah. Kemudian klitelium masing-masing cacing mengeluarkan kokon dimana sel sperma masuk untuk membuahi sel telur. Lebih dari 3 kokon per cacing per minggu dihasilkan. Dari setiap kokon  terdapat sekitar 10-12 anak cacing yang muncul. Pada umumnya jangka waktu hidup seekor cacing tanah sekitar 3-7 tahun tergantung pada jenis spesies dan keadaan ekologinya (Sinha et al. 2002). Cacing tanah mengandung air sebanyak 70-95% dari bobot tubuhnya,sehingga kehilangan air merupakan masalah utama cacing tanah untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuhnya untuk bekerja secara normal (Minnich 1977).
Menurut Lee (1985), cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai  dan berkecukupan pakan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral dan sirkulasi udara dan air yang baik. Untuk mencapai suhu dan kelembaban media yang optimum perlu dikontrol dengan penyiraman air. Peranan cacing tanah dalam pengomposan tidak terlepas dari peranannya yang memanfaaatkan bahan-bahan organik di sekitarnya sebagai bahan makanannya. Menurut Gaur (1992), peranan cacing tanah dalam penghancuran  bahan organik adalah mempercepat perombakan dengan cara mengaduk bahan organik, memakan bahan-bahan organik serta membuat liang-liang dalam massa bahan organik. Interaksi antara cacing tanah dan mikroorganisme merupakan faktor dominan yang penting dalam proses dekomposisi bahan organik dan mineralisasi.  
Cacing tanah yang sering digunakan untuk pengomposan adalah jenis  Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus. Kedua jenis cacing ini termasuk thermotoleran, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup dalam suhu yang panas (Gaur 1983). Cacing tanah yang diletakkan pada suhu media yang sesuai akan memakan sampah dapur setengah dari berat badannya per hari. Dengan kata lain, dibutuhkan 1 kg cacing untuk 0,5 kg  sampah makanan yang dihasilkan per hari. Perbandingannya adalah 2:1. Dalam tiap minggu, 1 kg cacing dapat memproses 3,5 kg sampah. Jika kondisi pertumbuhan tidak cocok, maka kecepatan konsumsi  makanan akan menurun (Hebert 2006).
Untuk dapat bereproduksi dengan baik sehingga menghasilkan vermikompos berkualitas tinggi, cacing tanah membutuhkan lima hal, yaitu: lingkungan hidup yang sesuai (bedding), sumber makanan, kelembaban dan aerasi yang cukup serta suhu yang sesuai (Munroe). Bedding adalah bahan yang dapat dijadikan sebagai habitat oleh cacing tanah. Habitat ini harus memiliki daya absorbansi yang tinggi sehingga dapat menjaga kelembahan dan suhu media cacing. Bedding dapat dirancang dengan menambahkan jerami, kertas koran, daun jagung, daun pisang dan bahan-bahan lainnya yang dapat menjaga kelembaban. Sumber makanan cacing tanah berupa bahan organik seperti sisa-sisa tumbuhan, bangkai hewan dan sampah makanan, selain itu dapat juga berupa kotoran hewan ternak yang telah dikering anginkan selama tujuh hari. Dalam kondisi yang ideal, cacing dapat mengkonsumsi makanan seberat tubuhnya, bahkan bisa lebih per hari. Cacing tanah tidak memiliki organ pencernaan khusus untuk menghancurkan bahan makanannya, jadi bahan makanan harus dipotong kecil-kecil untuk membantu proses pencernaannya. Semakin kecil partikel makanan yang diberikan, maka semakin cepat proses pengomposan. Penambahan dua genggam pasir halus juga dapat membantu proses pencernaannya (Munroe).
Cacing tanah bernapas dengan kulit, maka sangat membutuhkan kelembaban yang cukup pada medianya untuk dapat bertahan hidup.  Menurut Kevin (1979), kelembaban yang dibutuhkan cacing tanah berkisar antara 50-80%.  Dominguez et al. (1997) menemukan bahwa kisaran kelembaban yang terbaik adalah antara 80-90%, dengan kisaran optimum sebesar 85%. Kebutuhan cacing tanah akan kelembaban media bervariasi pada berbagai spesies dan daya adaptasi masing-masing spesies tersebut. Kelembaban media dapat dipertahankan dengan penambahan air pada media dan menyediakan bahan makanan yang mengandung banyak air.
Cacing tanah membutuhkan oksigen untuk bernapas dan tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi anaerob. Jika bahan makanan dalam media terlalu padat maka dapat mengurangi aerasi, sehingga dapat menyebabkan kematian pada cacing tanah. Masalah aerasi dapat diatasi dengan cara membalik media secara berkala agar terjadi peningkatan jumlah O2 dan penurunan jumlah CO2 pada media (Munroe).



C.     METODE PENGAMATAN
1.      Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Hari, Tanggal : 27 Mei - 11 Juni 2011
Pukul               : 07.30- 09.00
Tempat            : Kebun Biologi FMIPA UNY
2.      Alat dan Bahan
Alat
1.    Ember
2.    Cethok
3.    Ph Meter
4.    Termometer
5.    Karung Goni
6.    Timbangan
7.    Plastik
8.    Baskom
9.    Kayu
Bahan
1.    Cacing
2.    Air
3.    Kompos
4.    Bubur kertas
3.      Cara Kerja
a.       Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dalam proses pembuatan kompos
b.      Melubangi baskom pada bagian bawah secukupnya
c.       Membuat bubur kertas dengan cara memotong kardus kecil-kecil dan merendam dalam air secukupnya kemudian meremas-remas sampai menjadi bubur pada tempat yang berbeda
d.      Memasukkan bubur kertas ke dalam baskom yang telah dilubangi setebal 3 cm dari tinggi baskom
e.       Memasukkan bubur kertas ke dalam baskom yang telah dilubangi setebal 3 cm dari tinggi baskom
f.        Memasukkan bubur kertas ke dalam baskom yang telah dilubangi setebal 3 cm dari tinggi baskom
g.       Memasukkan kompos organik yang sudah hampir jadi ke dalam baskom
h.       Memasukkan 100 ekor cacing ke dalam baskom
i.         Memasukkan bubur kertas di atas lapisan kompos yang sudah diberi cacing
j.        Menutup baskom dengan goni
k.      Memantau pembuatan kompos ini selama 2 minggu

D.    DATA HASIL PENGAMATAN
Hari/ tanggal
Suhu (oC)
pH
Jumlah Cacing (ekor)
Berat Cacing (gram)
Rabu, 4 Mei 2011
27
3,7
104
100
Rabu, 11 Mei 2011
28
4,4
106
90

E.     PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pembuatan vermikomposting. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan verkomposting pada praktiukum ini adalah sebagai berikut. Pertama, menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Baskom yang berukuran sedang dilubangi bagian bawah secukupnya. Fungsi pelubangan ini adalah untuk memberikan jalan bagi air yang ada dalam vermikompos nantinya. Agar vermikomposting yang dilakukan tidak terlalu banyak air (terlalu lembab) sehingga cacing dapat hidup dengan baik. Selanjutnya dilakukan pembuatan bubur kertas dengan cara kardus atau kertas tanpa tinta dipotong kecil-kecil, kemudian direndam di dalam air secukupnya. Setelah  kertas menyerap air sepenuhnya, kertas atau kardus diremas-remas sampai menjadi bubur. Kertas atau kardus yang digunakan dalam pembuatan bubur ini tanpa tinta, karena cacing tidak menyukai tinta. Tinta adalah bahan kimia, sehingga dapat membahayakan cacing tanah tersebut. Selanjutnya bubur yang sudah jadi tadi dimasukkan ke dalam baskom yang telah dilubangi sebagai lapisan dasar. Bubur kertas yang dimasukkan setebal 3cm dari tinggi baskom tersebut. Tujuan pemasukan bubur ini adalah untuk memfasilitasi cacing tanah dalam aklimatisasi atau penyesuaian diri dengan kompos yang nantinya akan diletakkan di atas bubur kertas ini. Dalam adaptasi lingkungan hidup di kompos, cacing tanah yang belum mampu beradaptasi dengan kompos akan turun ke bawah ke lapisan bubur kertas ini.
Selanjutnya adalah memasukkan kompos organik yang sudah hampir jadi ke dalam baskom. Kompos yang dimasukkan sampai mencapai setengah tinggi baskom. Sebelumnya kompos organik yang akan dimasukkan ke dalam baskom diberi air, agar tidak kering. Hal ini ditujukan untuk menjaga kelembaban vermikomposting. Kompos yang hampir jadi inilah yang nantinya akan sempurnakan menjadi kompos oleh cacing tanah. Selanjutnya adalah memasukkan 100 ekor cacing ke dalam kompos. Baiknya, cacing yang dimasukkan dibiarkan mengumpul. Praktikan menunggu sampai cacing masuk ke dalam kompos. Jika cacing tanah sudah mau masuk ke bagian kompos, maka ini menandakan bahwa cacing tanah sudah mapu beradaptasi dengan kondisi kompos. Cacing tanah ini berfungsi untuk menyempurnakan pengomposan, dari kompos yang hampir jadi sampai kompos yang sudah jadi. Cacing ini memakan kompos sebagai makanannya dan mengeluarkan kotorannya sebagai bunga tanah atau humus, yaitu kompos. Tahap selanjutnya yaitu pemberian bubur kertas di atas lapisan kompos yang sudah diberikan cacing. Pemberian bubur kertas sampai semua kompos tertutupi dan hingga mencapai kira-kira 3 cm. Tujuan pelapisan dengan bubur kertas ini sama dengan pemberian bubur kertas sebagai lapisan dasar, yakni memfasilitasi cacing untuk aklimatisasi atau adapatasi dengan kondisi kompos. Jika cacing belum dapat beradaptasi dengan kompos sebagai habitatnya, maka bubur kertas ini akan memberikan kenyamanan bagi cacing sehingga cacing akan menuju ke lapisan bubur kertas ini. Misalnya jika cacing tidak menyukai kondisi kompos seperti bau, Ph, atau suhunya maka dimungkinkan cacing akan menuju ke tempat yang lebih cocok, yakni lapisan bubur kertas bagian bawah atau atas kompos. Langkah selanjutnya, baskom ini ditutup dengan potongan karung goni. Penutupan ini ditujukan agar vernikomposting berlangsung pada kegelapan, karena cacing tanah merupakan hewan nocturnal. Selain itu yang digunakan sebagai penutup adalah karung goni, hal ini karena karung goni memiliki celah-celah yang agak besar sehingga mampu memberikan aerasi yang baik bagi cacing tanah.
Vermikomposting ini dipantau perkembangannya selama dua minggu. Setiap seminggu sekali, vermikomposting ini diukur pH dan suhunya. Selain itu dilakukan perhitungan cacing tanah untuk mengetahui apakah terdapat penambahan atau pengurangan cacing tanah. Jika cacing tanah bertambah, maka dapat dimaknai bahwa lingkungan vermikompos cocok untuk cacing tanah melakukan vermikomposting.      
Susunan Vermikomposting
  
Setelah satu minggu vermikomposting disimpan, dilakukan pengukuran suhu dan pH. Dari Hasil pengukuran didapatkan asil suhu sebesar 27 °C dan Ph 3,7. Setelah dilakukan pengukuran tersebut, dilakukan perhitungan jumlah cacing tanah dan berat cacing tanah dalam vermikomposting. Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah cacing sebanyak 104 ekor dengan berat 100 gr. Dengan ini menunjukkan bahwa cacing telah berkembang biak dengan baik, yakni cocok dengan kondisi lingkungannya. Hal ini ditunjukkan dari pertambahan jumlah cacing tanahnya. Namun pertambahan cacing tanah tidak begitu banyak, hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan belum begitu cocok, baik suhu ataupun pH-nya yang terlalu asam. Selain itu dimungkinkan karena penghitungan cacing tanah yang kurang teliti, sehingga banyak cacing-cacing tanah yang kecil belum terhitung.
Setelah penghitungan cacing, keasaman, dan suhu kompos, kompos dicampur lagi dengan bubur kemudian cacing tanah dimasukkan lagi ke dalam kompos. Kemudian vermikomposting ini disimpan lagi selama satu minggu. Setelah satu minggu, dilakukan lagi pengukuran keasaman dan suhu kompos kemudian perhitungan cacing tanah. Di minggu kedua ini, didapatkan hasil bahwa kompos memiliki suhu 28°C dan pH-nya 4,4. Selanjutnya dari hasil perhitungan, didapatkan jumlah cacing sebanyak 106 ekor. Pertambahan jumlah cacing dari 104 menjadi 106 ini menunjukkan bahwa cacing tanah terus berkembang biak dengan baik, dengan kata lain cacing tanah cocok dengan kondisi media vermikomposting. Kemudian setelah perhitungan dilakukan penimbangan cacing tanah. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa cacing tanah memiliki berat 90 gr. Dapat diketahi bahwa terjadi penurunan berat cacing tanah, yakni dari 100 gr menjadi 90 gr. Pertambahan jumlah cacing tanah dan pengurangan berat cacing tanah menujukkan bahwa sebenarnya terjadi perkembangbiakan cacing tanah namun juga terjadi kematian cacing tanah dewasa.  
 
F.      KESIMPULAN
Vermicomposting adalah proses pengomposan secara bioteknologi sederhana yang merupakan proses bioksidasi dan stabilisasi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme untuk meningkatkan proses perombakan limbah dan menghasilkan hasil akhir yang lebih baik. Hasil akhir vermicomposting adalah vermicast atau vermikompos. Vermikomposting yang dilakukan oleh praktikan dinyatakan berhasil.

Jumat, 10 Juni 2011

SEJARAH DAN MEDIA KULTUR JARINGAN


A.     KULTUR JARINGAN
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur (Belanda). Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman
Dasar teori yang digunakan adalah teori totipotensi yang ditulis oleh Schleiden dan Schwann yang menyatakan bahwa teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna, artinya dapat bereproduksi, berkembang biak secara normal melalui biji atau spora.
Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari tanaman, yaitu:
1.      Totipotensi
Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.
2.      Rediferensiasi
Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru.

3.      Kompetensi
Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Sekarang, kultur jaringan sudah berkembang menjadi metoda untuk berbagai tujuan seperti:
1.      Mikropropagasi (perbanyakan tanaman secara mikro)
Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tanaman dalam skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias (anggrek, bunga potong, dll.), tanaman buah-buahan (seperti pisang), tanaman industri dan kehutanan (kopi, jati, dll). Dengan menggunakan metoda kultur jaringan, jutaan tanaman dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas. Oleh karena itu metoda ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif.
2.      Perbaikan tanaman
Dalam usaha perbaikan tanaman melalui metoda pemuliaan secara konvensional, untuk mendapatkan galur murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh tanaman homosigot dalam waktu singkat dengan cara memproduksi tanaman haploid melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan kromosom. Tanaman homosigot ini dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan tanaman dalam rangka perbaikan sifat tanaman.
3.      Produksi tanaman yang bebas penyakit (virus)
Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan tanaman yang bebas dari virus. Pada tanaman yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus. Dengan cara mengkulturkan bagian meristem akan diperoleh tanaman yang bebas virus.
4.      Transformasi genetic
Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu keberhasilan rekayasa genetika tanaman (transfer gen). Sebagai contoh transfer gen bakteri (seperti gen cry dari Bacillus thuringiensis) ke dalam sel tanaman akan terekspresi setelah regenerasi tanaman transgeniknya tercapai.
5.      Produksi senyawa metabolit sekunder
Kultur sel tanaman juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa biokimia (metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll. Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai contoh produksi secara komersial senyawa “shikonin” dari kultur sel Lithospermum erythrorhizon.
Teknik kultur jaringan menuntut syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah laboratorium dengan segala fasilitasnya. Laboratorium harus menyediakan alat-alat kerja, sarana pendukung terciptanya kondisi aseptik terkendali dan fasilitas dasar seperti, air listrik dan bahar bakar. Pelaksanaan kultur jaringan memerlukan juga perangkat lunak yang memenuhi syarat. Dalam melakukan pelaksanaan kultur jaringan, pelaksana harus mempunyai latar belakang ilmu-ilmu dasar tertentu yaitu botani, fisiologi tumbuhan ZPT, kimia dan fisika yang memadai. Pelaksana akan berkecimpung dalam pekerjaan yang berhubungan erat dengan ilmu-ilmu dasar tersebut. Pelaksana akan banyak berhubungan dengan berbagai macam bahan kimia, proses fisiologi tanaman (biokimia dan fisika) dan berbagai macam pekerjaan analitik. Kadang-kadang latar belakang pengetahuan tentang mikrobiologi, sitologi dan histologi. Pelaksana juga dituntut dalam hal ketrampilan kerja, ketekunan dan kesabaran yang tinggi serta harus bekerja intensif.
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1)      Pembuatan media
2)       Inisiasi
3)       Sterilisasi
4)      Multiplikasi
5)      Pengakaran
6)      Aklimatisasi
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.
Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat.
Manfaat Kultur Jaringan Tanaman
1.         Perbanyakan cepat dari klon
       Kecepatan multiplikasi sebanyak 5 akan memberikan 2 juta plantlet dalam 9 generasi yang memerlukan waktu 9 – 12 bulan.

2.         Keseragaman genetik.
       Karena kultur jaringan merupakan perbanyakan vegetatif, rekombinasi karakter genetik acak yang umum terjadi pada perbanyakan seksual melalui biji, dapat dihindari. Karenanya, anakan yang dihasilkan bersifat identik. Akan tetapi, mutasi dapat terjadi pada kultur jaringan pada saat sel bermultiplikasi, terutama pada kondisi hormone dan hara yang tinggi. Mutasi genetik pada masa multiplikasi vegetatif ini disebut ‘variasi somaklonal’.
3.         Kondisi aseptik
       Proses kultur jaringan memerlukan kondisi aseptik, sehingga pemeliharaan kultur tanaman dalam kondisi aseptik memberi bahan tanaman yang bebas pathogen
4.         Seleksi tanaman
       Adalah memungkinkan untuk memiliki tanaman dalam jumlah besar pada wadah kultur yang relative kecil. Seperti telah disebutkan sebelumnya, variasi genetik mungkin terjadi. Juga, adalah memungkinkan untuk memberi perlakuan kultur untuk meningkatkan kecepatan mutasi. Perlakkuan dengan bahan kimia (bahan mutasi, hormone) atau fisik (radiasi) dapat digunakan.
5.         Stok mikro
       Memelihara stok tanaman dalam jumlah besar mudah dilakukan pada in vitro culture. Stok induk biasanya dipelihara in vitro, dan stek mikro diambil untuk diakarkan di kultur pengakaran atau dengan perbanyakan biasa.
6.         Lingkungan terkontrol
7.         Konservasi genetik
       Kultur jaringan dapat digunakan untuk menyelamatkan spesies tanaman yang terancam (rare and endangered species). Metode dengan pemeliharaan minimal, penyimpanan jangka panjang telah dikembangkan.
8.         Teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk menyelamatkan hibrida dari spesies yang tidak kompatibel melalui kultur embrio atau kultur ovule.
9.         Tanaman haploid dapat diperoleh melaui kultur anther.
10.     Produksi tanaman sepanjang tahun.
11.     Perbanyakan vegetatif untuk spesies yang sulit diperbanyak secara normal dapat dilakukan melalui kultur jaringan.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN KULTUR JARINGAN
Aplikasi kultur jaringan pada awalnya ialah untuk propagasi tanaman. Selanjutnya penggunaan kultur jaringan lebih berkembang lagi yaitu untuk menghasilkan tanaman yang bebas penyakit, koleksi plasma nutfah, memperbaiki sifat genetika tanaman, produksi dan ekstaksi zat-zat kimia yang bermanfaat dari sel – sel yang dikulturkan.
Penggunaan teknik kultur jaringan dimulai oleh Gottlieb Haberlandt pada tahun 1902 dalam usahanya mengkulturkan sel-sel rambut dari jaringan mesofil daun tanaman monokotil. Tetapi usahanya gagal karena sel-sel tersebut tidak mengalami pembelahan, diduga kegagalan itu karena tidak digunakannya zat pengatur tumbuh yang diperlukan untuk pembelahan sel, proliferasi dan induksi embrio. Pada tahun 1904, Hannig melakukan penanaman embrio yang diisolasi dari beberapa tanaman crucifers. Tahun 1922, secara terpisah Knudson dan Robbin masing-masing melakukan usaha penanaman benih anggrek dan kultur ujung akar. Setelah tahun 1920-an, penemuan dan perkembangan teknik kultur jaringan terus berlanjut.
Berikut tabel yang menunjukkan sejarah perkembangan bidang kultur jaringan tanaman :
Tahun
Penemuan-Penemuan Penting
1838
Schleiden & Schwann mengemukakan teori Totipotensi
1902
Haberlandt:: Orang pertama yang mencoba mengisolasi dan mengkulturkan jaringan tanaman monokotil, tetapi gagal
1922
Knudson: mengecambahkan biji anggrek
1924
Blumenthal & Meyer: Pembentukan kalus dari eksplan akar wortel
1929
Laibach & Hered: Kultur embrio untuk mengatasi inkompatibilitas pada tanaman Linum spp
1934
Gautheret: Kultur in vitro dari jaringan kambium tanaman berkayu dan perdu, tetapi gagal.
White: Keberhasilan kultur akar tomat dalam waktu yang panjang
Kogl et.al. : Identifikasi hormon tanaman pertama, IAA, untuk pemanjangan sel.
1936
LaRue: Kultur embrio pada beberapa tanaman gymnospermae
1939
Gautheret: Berhasil menumbuhkan kultur kambium tanaman wortel dan tembakau
1941
Overbeek: Penggunaan air kelapa untuk menumbuhkam kultur embrio muda tanaman Datura
1944
Kultur in vitro pertama dari tanaman tembakau untuk studi pembentukan tunas adventif
1948
Skoog dan Tsui: Pembentukan tunas dan akar adventif dari tembakau
1949
Nitsch: Kultur in vitro tanaman buah-buahan
1952
Morel & Martin:
Kultur meristem untuk mendapatkan tanaman Dahlia yang bebas virus. Keberhasilan pertama micro-grafting.
1953
Tulecke: Kalus haploid dari polen tanaman Ginkgo biloba
1955
Miller: Penemuan struktur dan sintesa dari kinetin
1957
Skoog & Miller: Menemuan bahwa pembentukan akar dan tunas dalam kultur tergatung pada perbandingan auksin : sitokinin
1958
Maheswari & Rangaswamy: Regenerasi embrio somatik dari nuselus ovul Citrus
Reinert & Steward: Pertumbuhan dan perkembangan kultur suspensi wortel
1960
Cocking: Degradasi enzimatik dinding sel untuk mendapatkan protoplas
Morel: Perbanyakan vegetatif anggrek melalui kultur meristem
1962
Murashige & Skoog: Perkembangan media MS
1964
Guha & Maheswari: Penemuan tanaman haploid pertama melalui androgenesis tanaman Datura
1969
Erickson & Jonassen: Isolasi protoplas dari suspensi sel Hapopappus
1970
Power: Fusi protoplas
1977
Chilton: Keberhasilan integrasi T-DNA pada tanaman
Noguchi dkk.: Penanaman sel-sel tembakau dalam bioreaktor berkapasitas 20 000 L.
1978
Melchers dkk.: Hibridisasi somatik antara tanaman tomat dan kentang
Tabata dkk.: Produksi shikonin pada skala industri melalui kultur sel
1982
Zimmermann: Fusi protoplas secara elektrik (Electrofusion)
1983
Mitsui Petrochemicals: Produksi metabolit sekunder pertama dalam skala industri melalui kultur suspensi pada tanaman Lithospermum spp.
1985-
1990
Perkembangan transfer gen pada tanaman berkembang cepat, seperti penggunaan Agrobacterium, particle bombardment (gen gun), electroporasi, mikroinjeksi.
1990 -sekarang
Perkembangan rekayasa genetik dan metabolik tan. Berkembang pesat
Pemasaran produk-produk rekayasa genetik
(Leo Anjar Kusuma ; 2010)

C.     MEDIA KULTUR JARINGAN
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Jenis dan komposisi media sangat mempengaruhi besarnya daya tahan eksplan untuk hidup pada media tersebut, sedangkan zat pengatur tumbuh Auksin dan Sitokinin endogen yang terdapat pada eskplan berpengaruh terhadap besarnya penyerapan zat makanan yang tersedia dalam media kultur sehingga eksplan dapat bertahan hidup lebih lama( George dan Sherrington, 1984). Bila pertumbuhan eksplan baik dapat meningkatkan daya tahan hidup eksplan (Gunawan, 1988).
Media dalam kultur jaringan tanaman umumnya terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: hara makro, hara mikro, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan organik komplek, bahan pemadat (agar), dan zat pengatur tumbuh. Beberapa formulasi media sudah umum digunakan dalam banyak pekerjaan kultur jaringan dan sudah dikomersilkan. Media tersebut antara lain White, Murashige & Skoog (MS), Gamborg et al. (B5), Gautheret, Schenk & Hilderbrandt (SH), Nitch & Nitch, Lloyd & McCown (WPM) dll. Media MS, SH dan B5 merupakan media yang kaya garam-garam makro. Berikut penjabaran dari masing-masing komposisi media :
1.    Hara Makro
Hara makro terdiri dari enam unsur utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan jaringan tanaman, yaitu: nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Konsentrasi optimum yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan maksimum bervariasi diantara jenis tanaman.
Media kultur harus mengandung sedikitnya 25-60 mM nitrogen anorganik untuk pertumbuhan sel tanaman. Sel-sel tanaman mungkin dapat tumbuh pada sumber N dari nitrat saja, tetapi diketahui bahwa pertumbuhan yang lebih baik adalah apabila mengandung nitrat dan amonium. Nitrat yang disediakan umumnya berkisar 25-40 mM, konsentrasi amonium berkisar antara 2-20 mM. Akan tetapi untuk beberapa spesies tanaman konsentrasi amonium > 8 mM akan menghambat pertumbuhan sel. Sel-sel dapat tumbuh dalam media kultur yang hanya mengandung amonium sebagai sumber nitrogen jika satu atau lebih terdapat asam-asam yang terlibat dalam siklus TCA (seperti sitrat, suksinat, atau malat) juga terdapat dalam media pada konsentrasi sekitar 10 mM. Apabila nitrat dan amonium sebagai sumber nitrogen digunakan bersama dalam media maka ion-ion amonium akan digunakan lebih cepat dibandingkan dengan ion-ion nitrat.
Kalium dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bagi sebagian besar spesies tanaman. Umumnya media mengandung kalium (dalam bentuk nitrat atau klorida) pada konsentrasi 20-30 mM. Konsentrasi optimum untuk unsur P, Mg, S dan Ca berkisar antara 1-3 mM. Konsentasi yang lebih tinggi dari hara-hara tersebut mungkin diperlukan jika terjadi defisiensi dari hara yang lain.
2.    Hara Mikro
Hara mikro yang paling dibutuhkan untuk petumbuhan sel dan jaringan tanaman mencakup besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), boron (B), terusi (Cu) dan molibdenum (Mo). Besi dan seng yang digunakan dalam pembuatan media harus dalam bentuk yang ter ”chelate”. Besi adalah yang paling kritis diantara semua hara mikro. Besi sitrat dan tartrat dapat digunakan untuk media kultur, tetapi senyawa ini sulit untuk larutdan biasanya akan terpresipitasi setelah media dibuat. Masalah ini dipecahkan oleh Murashige & Skoog dengan men ”chelate” besi dengan menggunakan asam etilen diamintetraasetik (EDTA).
Kobal (Co) dan iodin (I) juga dapat ditambahkan dalam media tetapi kebutuhan yang jelas untuk pertumbuhan sel belum diketahui. Natrium (Na) dan klorida (Cl) juga digunakan pada beberapa media tetapi tidak begitu penting untuk pertumbuhan sel. Konsentrasi Cu dan Co yang biasanya ditambahkan pada media sekitar 0.1 µM, Fe dan Mo 1 µM, I 5µM, Zn 5-30 µM, Mn 20-90 µM, dan B 25-100 µM.
3.    Karbon dan Sumber Enersi
Sumber karbohidrat yang biasanya digunakan dalam media kultur adalah sukrosa. Glukosa dan fruktosa dalam beberapa hal dapat digunakan sebagai pengganti sukrosa, dimana glukosa mempunyai efektivitas yang sama dengan sukrosa dibanding dengan fruktosa. Karbohidrat lain yang pernah dicobakan adalah laktosa, galaktosa, rafinosa, maltosa dan pati, tetapi semua karbohidrat tersebut umumnya mempunyai hasil yang kurang baik dibandingkan sukrosa atau fruktosa. Konsentrasi sukrosa normal dalam media kultur berkisar antara 2 dan 3%. Karbohidrat harus tersedia dalam media kultur karena sangat sedikit sel dari jenis tanaman yang diisolasi dapat bersifat autotropik, yaitu kemampuan menyediakan kebutuhan karbohidrat sendiri melalui asimilasi CO2 selama proses fotosintesa. Sukrosa dalam media kultur secara cepat akan diurai menjadi fruktosa dan glukosa. Glukosa adalah yang pertama digunakan oleh sel, diikuti oleh fruktosa. Saat media disterilisasi dengan autoclave, sebagian sukrosa akan mengalami hidrolisa. Apabila sukrosa yang diautoklap ada bersama komponen media lain maka proses hidrolisa akan lebih besar. Kultur dari beberapa spesies tanaman akan tumbuh baik pada media yang sukrosanya diautoklap dibandingkan dengan media yang sukrosanya disterilisasi dengan filter. Hal ini dimungkinkan akan menguntungkan sel-sel karena tersedianya glukosa dan fruktosa.
4.    Vitamin
Pada beberapa media kultur juga sering ditambahkan vitamin-vitamin seperti biotin, asam folat, asam askorbat, asam panthotenat, vitamin E (tokoperol), riboflavin, dan asam p-aminobenzoik. Meskipun vitamin-vitamin tersebut bukan merupakan faktor pembatas pertumbuhan, tetapi sering memberikan keberhasilan dalam kultur sel dan jaringan tanaman. Biasanya penambahan vitamin-vitamin tersebut ke dalam media dilakukan apabila konsentrasi thiamin dianggap dibawah taraf yang diinginkan atau apabila jumlah populasi sel-sel yang tumbuh masih rendah.
5.    Asam Amino dan Sumber Nitrogen Lainnya
Sumber nitrogen organik yang paling banyak digunakan dalam media kultur adalah asam amino campuran (casein hidrolisat), L-glutamin, L-asparagin, dan adenin. Casein hidrolisat umumnya digunakan pada konsentrasi antara 0.05-0.1%. Asam amino biasanya ditambahkan pada media terdiri dari beberapa macam, karena sering diperoleh bahwa penambahan satu jenis asam amino saja justru dapat menghambat pertumbuhan sel. Contoh penambahan asam amino dalam media untuk meningkatkan pertumbuhan sel adalah glisin 2 mg/L, glutamin hingga 8mM, asparagin 100 mg/L, arginin dan sistein 10 mg/L, dan tirosin 100 mg/L. Adenin sulfat juga sering ditambahkan pada media kultur yang fungsinya dapat menstimulir pertumbuhan sel dan meningkatkan pembentukan tunas.
6.      Bahan Organik Komplek
Arang aktif (activated charcoal) juga sering digunakan pada media kultur. Beberapa hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang menguntungkan dan juiga dapat merugikan. Pada kultur beberapa tanaman seperti anggrek, bawang, wortel dan tomat dapat menstimulir pertumbuhan dan diferensiasi, tetapi pada kultur tanaman tembakau, kedelai dan teh justru akan menghambat pertumbuhan. Pengaruh arang aktif umumnya diarahkan pada salah satu dari tiga hal berikut: penyerapan senyawa-senyawa penghambat, penyerapan zat pengatur tumbuh atau menggelapkan warna media. Penghambatan pumbuhan karena kehadiran arang aktif umumnya karena arang aktif dapat menyerap ZPT. NAA, kinetin, BAP, IAA dan 2iP semuanya dapat terikat oleh artang aktif. IAA dan 2iP merupakan ZPT yang paling cepat terikat oleh arang aktif. Arang aktif dapat menstimulasi pertumbuhan sel umumnya karena kemampuan arang aktif mengikat senyawa fenol yang bersifat toksik yang diproduksi biakan selama dalam kultur. Konswentrasi aArang aktif yang ditambahkan kedalam media kultur umumnya sebanyak 0.5-3%.
7.      Bahan Pemadat dan Penyangga Biakan
Media kultur jaringan tanaman dapat dibuat padat atau semi padat, yaitu dengan penambahan bahan pemadat berupa agar. Dibandingkan bahan pemadat lain, agar mempunyai beberapa keuntungan, yaitu (i) saat dicampur dengan air, agar akan terbentuk bila dilelehkan pada suhu 60o-100oC dan memadat pada suhu 45oC; (ii) gel agar bersifat stabil pada suhu inkubasi; (iii) agar gel tidak bereaksi dengan komponen dalam media dan tidak dicerna oleh ensim tanaman. Kualitas fisik agar dalam media kultur tergantung pada konsentrasi dan merek agar yang diguinakan serta pH media. Konsentrasi agar yang digunakan dalam media kultur berkisar antara 0.5-1%, dengan catatan pH media sesuai dengan aturan. Penggunaan arang aktif (0.8-1%) dapat mempengaruhi kepadatan agar yang terbentuk.
Kemurnian agar yang digunakan dalam media kultur juga merupakan faktor yang penting. Agar yang mengandung garam-garam Ca, Mg, K dan Na dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam media. Oleh karena itu penggunaan agar yang murni sangat diperlukan terutama untuk tujuan percobaan. Untuk memurnikan agar dapat dilakukan dengan cara mencuci dengan air destilasi selama 24 jam kemudian dibilas dengan ethanol dan dikeringkan pada suhu 60oC selama 24 jam.
Bahan pemadat lain yang pernah dicobakan adalah gelatin pada konsentrasi 10%, akan tetapi terdapat kesulitan karen gelatin meleleh pada suhu 25oC. Methosel dan alginat juga pernah dicobakan sebagai bahan pemadat media, tetapi kedua bahan tersebut sulit penanganannya serta harganya cukup mahal. Bahan lain yang dapat digunakan adalah agarose (konsentrasi 0.35-0.7%), dimana jenis agar ini banyak digunakan pada pekerjaan teknik kultur protoplas. Saat ini bahan pemadat yang banyak digunakan adalah agar sintetik yaitu Phytagel (produk Sigma Chemical) dan Gelrite (produk Kelco Corp.). Agar jenis ini hanya digunakan 2-2.5 g/L dan menghasilkan gel yang bening yang cocok untuk mendeteksi ada tidaknya kontaminan.
Gel agar juga berfungsi sebagai penopang agar biakan atau eksplan yang ditanam dalam media tetap pada tempatnya (tidak bergerak atau berpindah). Metoda lain yang dapat digunakan untuk penopang atau penyangga biakan adalah jembatan kerta filter (filter paper bridges), sumbu kertas filter (filter paper wick), busa poliuretran, celophane berlubang dan poliester. Apakah eksplan akan tumbuih lebih baik pada media agar atau dengan penyangga, tergantung dari spesies tanaman yang dikulturkan.
8.    Zat Pengatur Tumbuh
Terdapat empat klas zat pengatur tumbuh (ZPT) yang penting dalam kultur jaringan tanaman, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisik. Skoog dan Miller adalah yang pertama melaporkan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin menentukan jenis dan berapa besar proses organogenesis dalam kultur jaringan tanaman. Auksin dan sitokinin yang ditambahkan kedalam media kultur mempunyai tujuan untuk mendapatkan morfogenesis, meskipun perbandingannya untuk mendapatkan induksi akar dan tunas bervariasi baik ditingkat genus, spesies bahkan kultivar.
Sitokinin yang ditrambahkan dalam media kultur umumnya ditujukan untuk menstimulasi pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas dan proliferasi tunas aksiler, dan untuk menghambat pembentukan akar. Mekanisme kerja sitokinin tidak secara pasti diketahui, namun demikian beberapa senyawa yang mempunyai aktivitas mirip sitokinin diketahui terlibat dalam transfer-RNA (t-RNA). Sitokinin juga menunjukkan dapat mengaktivasi sintesa RNA dan menstimulasi aktivitas protein dan enzim pada jaringan tertentu.
Menurut George dan Sherington (1984) ada media dasar yang pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain:
1.    Medium dasar Murashige dan Skoog (MS), digunakan hamper pada semua macam tanaman terutama herbaceous. Media ini memiliki konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.
2.    Medium dasra B5 atau Gamborg, digunakan untuk kultur suspense sel kedelai, alfafa dan legume lain.
3.    Medium dasar white, digunakan untuk kultur akar. Medium ini merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah.
4.    Medium Vacint Went (VW), digunakan khusus untuk medium anggrek.
5.    Medium dasar Nitsch dan Nitsch, digunakn untuk kultur tepung sari (Pollen) dan kultur sel.
6.    Medium dasar schenk dan Hildebrandt, digunakan untuk tanaman yang berkayu.
7.    Medium dasar Woody Plant Medium (WMP), digunakan untuk tanamn yang berkayu.
8.    Medium dasar N6, digunakan untuk tanaman serealia terutama padi, dan lin-lain.
Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa medssia kultur jaringan, yaitu diantaranya:
1.        Media Murashige & Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur, merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media : 1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther. 2. Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya. 3. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
2.        Media Gamborg B5 (media B5)
Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
3.        Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.
4.        Media WPM (Woody Plant Medium)
Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.


5.        Media Nitsch & Nitsch
Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).
6.        Media Knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983)
7.        Media White
Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian.
Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.
8.        Media Knudson dan media Vacin and Went
Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. S Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.

D.    MEDIA B5 (Gamborg)
Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Gamborg (B5). Media B5 dikembangkan oleh Gamborg et al. pada tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain.
Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti lain melaporkan bahwa konsentrasi NH4+ yang tinggi sampai 20 mM berpengaruh baik dalam kultur jaringan seperti pada kultur kalus tembakau Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM lebih mengutamakan kandungan ammonium dibandingkan media MS.
Meskipun media B5 pada awalnya digunakan untuk menginduksi kalus atau diutamakan sebagai kultur suspensi, tetapi dapat digunakan pula sebagai media dasar bagi perbanyakan tanaman pada umumnya. Gamborg (1991) menyatakan bahwa kadar hara anorganik yang dikandung media dasar Gamborg (B5) umumnya lebih rendah dari pada media dasar MS. Hal tersebut sering kali lebih baik bagi sel spesies tertentu. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.
 Komposisi media B5 (Gamborg) :
DAFTAR PUSTAKA

AHMADI, Muslim. 2009. Kultur Jaringan. Diambil dari http://mediakulturjaringan.blogspot.com/2010/08/kultur-jaringan.html pada hari Selasa. 22 Maret 2011 pukul 18.15 WIB

Divinkom Universitas Udayana. 2008. Pendahuluan Kultur Jaringan. Diambil dari  http://www.fp.unud.ac.id/biotek/kultur-jaringan-tanaman/ pada hari Selasa. 22 Maret 2011 pukul 18.15 WIB

 Indah Pratiwi,dkk. 2009. Penggunaan Jenis Media Dasar Dan Kinetin Untuk Induksi Organogenesis Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii) Secara In Vitro. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Leo, Anjar Kusuma. 2010. Kultur Jaringan Tanaman Jarak Pagar. Diambil dari www.google.com pada hari Senin, 21 Maret 2010 pukul 17.15 WIB

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijhoof of Publishers. Neteherland.

 
Disusun oleh :
Riza Sativani Hayati                  08304241029
Nur Hidayah                             08304241030