Disusun Oleh:
Riza Sativani Hayati / NIM . 12708251080/ PPs Pendidikan Sains/Kelas D
Perkuliahan
filsafat ilmu yang keempat ini memberikan refleksi dua hal, yakni mengenai
berubah dan determinism. Poin yang pertama, yaitu berubah, mengapa Dr Marsigit
menyampaikan mengenai pentingnya kita berubah salah satunya adalah karena mahasiswa
terlalu meremehkan membaca elegi, bahkan dikatakan bahwa orang yang tidak mau
memahami elegi, yang tidak mau mengubah kebiasaannya bagaikan menuju
kematiannya (dalam filsafat). Mengapa Dr Marsigit memberikan metode belajar
bagi mahasiswa berupa membaca elegi mungkin banyak sekali manfaat yang akan
didaptkan jika kita mau memaksimalkan itu, antara lain menambah pemahaman
filsafat, manajemen waktu yang baik, mau mendengar pendapat orang lain, mampu
berpikir kritis, respect dan up date dengan permasalahan pendidikan Indonesia,
dan mengetahui hakekat kita hidup. Mengapa hanya dengan membaca elegi kita bisa
memiliki manajemen waktu yang baik? Jelas jawabannya karena kita memiliki lebih
dari 300 elegi yang harus kita baca dan berikan komentar selama satu semester. Hal
ini membuat kita harus pintar-pintar memenejemen waktu kita. Mengapa hanya
dengan membaca elegi kita memiliki sifat mau mendengar pendapat orang lain? Karena
dalam elegi Dr Marsigit banyak mengungkapkan pendapat dari Dr. Marsigit yang
mungkin belum tentu sesuai dengan pendapat kita, sehingga kita juga
mendengarkan dan menerima pendapat mereka. Mengapa hanya dengan membaca elegi
kita bisa lebih memahami filsafat, mampu berpikir kritis, respect dan up date dengan
permasalahan pendidikan Indonesia, dan mengetahui hakekat kita hidup? Karena dari
elegi Dr Marsigit diungkapkan permasalahan, berita up date, dan kondisi
pendidikan dan Indonesia dari sudut pandang filsafat dan kita diminta untuk
memberikan komentar, sehingga hal ini menuntut kita untuk erfikir kritis. Dari manfaat
yang bisa kita dapatkan dari membaca elegi ini, mungkin akan memberikan kita
motivasi untuk berubah, berubah mampu mengalahkan keegoisan dan kemalasan diri
kita sendiri untuk mau membaca elegi.
Pernahkah
kita menjadi bayang-bayang orang lain? Poin kedua yang disampaikan Dr Marsigit
adalah mengenai determinasi, determinasi dari kata to determine yakni menjatuhkan
sifat kepada orang lain atau objek lain. Determinasi ini ada dua, yakni
determinasi positif dan negatif, determinasi positif adalah determinasi yang memberlakukan
sifat menjatuhkan sifat positif pada objek, sehingga memiliki dampak positif
bagi objek yang dijatuhi sifat tersebut sedangkan determinasi negatif adalah
determinasi yang menjatuhkan sifat negatif pada objek sehingga memiliki dampak
negatif bagi objek yang dijatuhi sifat tersebut. Di dunia ini, determinasi
absolut adalah milik Allah, akan tetapi kita senantiasa menjadi bayang-bayang
orang lain. Contoh determinasi negatif yang dekat dengan kita sebagai pendidik
misalnya adalah “guru menutupi siswa”. Sebagai guru seringkali kita menutupi potensi siswa
dengan menjatuhkan sifat yang negatif pada anak tersebut, contoh: “kamu siswa
nakal, siswa malas, anak kecil” atau bahkan banyak guru yang memberikan perlawanan
fisik kepada siswanya. Dengan kita menjatuhkan sifat negative kepada siswa
seperti itu akan membuat siswa menjadi negative thinking pada dirinya sendiri,
mereka jadi berfikir “aku malas, aku nakal, aku anak kecil”. Guru senantiasa
menutupi siswa dengan bayang-bayangnya. Hal ini akan semakin membuat siswa
nyaman dengan predikat negative yang dia sematkan sendiri yang asalnya dari
determinasi kita. Bahkan Dr Marsigit menjelaskan bahaya determinasi “jika itu
determinasi kecil akan merugikan, jika besar akan membunuh”. Lebih bahaya lagi
ketika yang dideterminasi tidak menyadarinya. Namun determinasi ini juga dapat
dilakukan manakala muncul dari antitesis determinasi objek dengan diri objek
tersebut. Seperti yang dicontohkan Dr Marsigit, beliau melakukan determinasi kepada
mahasiswa “kamu malas” atau “kamu menuju kematian secara filsafat”, hal ini
muncul karena mahasiswa yang memang merasa malas untuk membaca elegi. Namun
memang hal ini kurang bijak, oleh karena itu untuk mengurangi dampak
determinasai atau solusi mencegah determinasi adalah dengan komunikasi.
Komunikasi yang seperti apa yang harus dilakukan? Yakni komunikasi yang
terjemah dan menterjemahkan, tidak hanya satu arah dan satu sudut pandang, tapi
saling mendengarkan apa yang menjadi maksud masing-masing pihak. Sebenarnya tidak
menyalahkan guru pun siswa sudah determin terhadap dirinya sendiri dan sesungguhnya
siswa adalah cermin dari gurunya, bahkan guru memiliki dimensi yang lebih
tinggi atau wadah lebih luas, oleh karena itu perlu kita memperbaiki diri kita
terlebih dahulu.
Lalu
bagaimana dengan determinasi positive? Determinasi positive memberikan dampak
positive bagi objek yang dijatuhi sifat. Guru akan menjadi lebih bijak jika
melakukan determinasi positive terhadap siswanya, misalnya “kamu siswa pintar,
cerdas, kritis”. Hal tersebut akan menjadikan siswa positive thinking dan menjudge
dirinya pintar, cerdas, dan kritis, sehingga siswa senantiasa termotivasi untuk
berusaha menjadi pintar, cerdas, dan berfikir kritis.
Dari
refleksi perkuliahan filsafat ilmu keempat ini semoga kita senantiasa
termotivasi untuk berubah, semakin ikhlas dalam belajar filsafat melalui
memahami elegi dan senantiasa mengurangi determinasi negatif dan meningkatkan
determinasi positif, baik determinasi terhadap diri sendiri atau determinasi
terhadap orang lain, terutama kepada siswa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar !!!