Disusun Oleh:
Riza Sativani Hayati, S.Pd./12708251080/Pendidikan Sains Kons. Biologi Kelas D
Refleksi kuliah Dr. Marsigit kali ini
berkaitan dengan soal Ujian Akhir Semester, dimana dalam soal ujian tersebut
berkaitan dengan penerapan aliran filsafat, yakni hermeneutika dan fenomenologi
dalam pembelajaran sains dan pengembangan intuisi dalam pembelajaran sains. Berikut
ini akan dipaparkan secara terpisah mengenai hal tersebut.
Filsafat dapat diletakkan di depan kata
apapun, termasuk di depan kata pendidikan, menjadi filsafat pendidikan. Salah
satu implementasi filsafat pendidikan adalah dengan mengimplementasikan
aliran-aliran filsafat para filsuf ke dalam pembelajaran sains. Banyak aliran
filsafat yang dapat diterapkan dalam pendidikan sains, diantaranya adalah
hermeneutika dan fenomenologi.
Penerapan Hermeneutika
dalam Pembelajaran Sains
Hermeneutika berasal dari kata kerja
bahasa Yunani hermeneuein, yang secara umum diterjemahkan “to
interpret”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “interpretation”.
Hermeneuein dan hermeneia dalam berbagai bentuknyatelah dipakai
dalam teks-teks klasik sepertiyang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau On Interpretation, yaitubahwa kata-kata yang kita
ucapkan adalahsimbol dari pengalaman mental kita, dankata-kata yang kita tulis
adalah simbol darikata-kata yang kita ucapkan. SelainAristoteles, dua kata
tersebut digunakan oleh para penulis atau filosof klasik sepertiPlato,
Xenophon, Plutarch, Euripides,Epicurus, Lucretius, dan Longinus (Palmer,1969).
Munculnya istilah hermeneuein atau
hermeneia terkait dengan tokoh mitologis, Hermes, yaitu seorang utusan
yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Misi
“memahamkan pesan kepada umat manusia” yang diemban oleh Hermes ini secara
implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia.
Tiga makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: 1) Mengekspresikan
suara dalam kata-kata, atau “mengatakan”.2) Menjelaskan, seperti menjelaskan
situasi, dan 3) menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam
bahasanya sendiri. Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata “to
interpret” atau“menafsirkan” (Sembodo Ardi Widodo, 2008). Dengan kata lain, hermeneutika dapat
diartikan dengan terjemah menterjemahkan.
Hermeneutika dapat diaplikasikan dalam
pembelajaran sains, yakni dalam interaksi pembelajaran sains. Secara hakekat,
belajar adalah proses peningkatan kemampuan baik di ranah kognitif, afektif dan
juga ranah keterampilan melalui aktivitas interaksi antarelemen pembelajaran.
Elemen pembelajaran ada tiga, yakni guru, siswa dan media atau sumber belajar.
Apabila terjadi interaksi yang sempurna antara ketiganya, maka itulah yang
disebut dengan pembelajaran aktif. Tanpa adanya interaksi, maka tidak akan ada
proses belajar.
Pembelajaran yang sempurna setidaknya
memiliki lima tipe interaksi yang intensif, yakni:
a.
Interaksi antara guru dan siswa
b.
Interaksi antara individu siswa
dengan individu siswa yang lain
c.
Interaksi antara siswa langsung
dengan media dan sumber belajarnya
d.
Interaksi antara individu siswa
dengan kelompoknya
e.
Interaksi antara kelompok dengan
kelompok lain
Apabila pembelajaran aktif dapat berlangsung
dengan baik, maka guru harus memastikan bahwa kelima interaksi tersebut harus
benar-benar terlaksana semua. Interaksi yang terbangun harus benar-benar berada
dalam lingkup kegiatan belajar yang bermakna, maka membangun ragam interaksi
ini harus dengan metode pembelajaran yang tepat. Interaksi ini sangat erat
kaitannya dengan metode pembelajaran, sebab interaksi ini hanya bisa muncul
bila guru memfasilitasinya dengan suatu metode pembelajaran. Sehingga semakin
banyak guru menggunakan metode pembelajaran, maka dalam sesi tersebut akan
semakin banyak membangun interaksi antarelemen pembelajaran (Agung Pardini, 2011).
Saling terjemah menterjemahkan harus dilakukan
dalam interaksi pembelajaran sains. Sebagai contoh, dalam pembelajaran topik
keanekaragaman hayati, guru harus menerapkan metode pembelajaran yang mampu
memunculkan interaksi guru dan siswa, interaksi antara individu siswa dengan
individu siswa yang lain, interaksi antara siswa langsung dengan sumber belajarnya,
yaitu alam semesta yang mengandung keanekaragaman hayati di dalamnya, interaksi
antara individu siswa dengan kelompoknya, dan interaksi antara kelompok dengan
kelompok lain. Salah satu metode pembelajaran yang mampu memunculkan interaksi
tersebut adalah discovery learning.
Dengan metode discovery learning, siswa dapat bekerja dalam kelompok untuk
melakukan eksplorasi di alam untuk menemukan konsep keanekaragaman
hayati,dengan demikian interaksi akan miuncul dalam proses pembelajaran sains.
Guru hanuya sebagai fasilitator, akan tetapi interaksi antara guru dan siswa
tetap muncul melalui kegiatan konfirmasi hasil belajar siswa. Guru dapat
memberikan LKS kepada siswa untuk mtemadu siswa berinteraksi dengan sumber
belajar atau media belajar. Kegiatan eksplorasi berkelompok memungkinkan siswa
berinteraksi dengan siswa lain dalam satu kelompok dan kelompok berinteraksi
dengan kelompok. Dengan demikian semua interaksi pembelajaran dapat dimunculkan
dalam pembelajaran sains dengan penerapan metode pembelajaran yang tepat,
sesuai dengan topik pembelajaran, meminimalisasi teacher centre dan mengoptimalkan student centre.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa dalam mengelola interaksi belajar mengajar guru harus memiliki kemampuan
mendesain program, menguasai materi pelajaran, mampu menciptakan kondisi kelas
yang kondusif, terampil memanfaatkan media dan memilih sumber, memahami cara
atau metode yang digunakan, memiliki keterampilan mengkomunikasikan program
serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak.
Penerapan Fenomenologi
dalam Pembelajaran Sains
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan
penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman
intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis,
sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari pengalaman
dan hakekat dari apa yang kita alami. Fenomenologi
memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam
refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan
fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Fenomena
yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia
memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut.
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani “phainomenon” yang
berarti gejala dan “logos” yang berarti perkataan, ajaran. Fenomenologi
mengandung beberapa perngetian:
a. Arti luas, ilmu tentang fenomen – fenomen atau
apa saja yang tampak. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan
filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran
manusia.
b. Arti sempit, ilmu tentang gejala yang menampakkan
diri pada kesadaran kita.
Tokoh-tokoh
fenomenologi antara lain Emmanuel Kant, Edmund Husserl, Fenomenologi Alfred
Shutz, Peter L. Berger,
Harry Hamersma, Emilio Betti, Merlu-Ponty, dan lain sebagainya.
Istilah lain
yang digunakan oleh Husserl adalah epoche,
yang artinya melupakan pengertian-pengertian tentang obyek untuk sementara dan
berusaha melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.
Pada pembelajaran sains sendiri,
beberapa objeknya ideal dan sempurna, maka untuk memperolehnya di dalam
kehidupan nyata diperlukan idealisasi yaitu menjadikan objek riil dalam
kehidupan sebagai sesuatu yang ideal atau sempurna, yang kedua yaitu abstraksi
yaitu mengambil sifat-sifat pada objek di dalam kehidupan nyata yang sesuai
dengan objek sains, sedangkan sifat-sifat/ karakteristik yang tidak sesuai dan
tidak diperlukan ditinggalkan. Karakteristik atau sifat-sifat yang tidak
diperlukan dan diabaikan tersebut akan di tempatkan pada rumah epoche di dalam
otak. Misalnya ketika melihat banyak bunga di kebun bunga sebagai fenomena.
Maka karakteristik bunga sebagai objek sains adalah struktur dan fungsi bunga,
bukan banyak bunga yang ada di taman. Banyak bunga yang ada di taman
tersebut akan diabaikan dan di tempatkan pada rumah epoche, sedangkan struktur dan fungsi organ bunga akan menjadi
konsep di dalam otak melalui abstraksi atau idealisasi.
Dalam phenomenology,
idealisasi dan abstraksi tidak akan penah lepas dari cara mendapatkan
objek sains pada kehidupan konkret karena pada dasarnya tidak ada objek di
dalam kehidupan yang ideal sebagai objek sains. Untuk mendapatkan objek-objek
tersebut dan memahami sains secara konkret di perlukan tidak hanya teori tetapi
juga praktik.
Namun ketika melihat proses belajar
dan mengajar sains di Indonesia terlihat jelas bahwa masih banyaknya guru yang
tidak mengarahkan siswa pada kegiatan praktik, melainkan hanya teori dengan
metode penyampaian eksposisi. Hal tersebut akan menghambat siswa dalam memehami
sains. Sehingga diperlukannya sebuah langkah baru untuk menciptakan pendidikan sains
yang lebih baik melalui innovative learning, di mana siswa tidak
hanya mempelajari teori tetepi juga mereka terjun langsung menghadapi
permasalahan konkret dengan investigasi, diskusi, dan sedikit penjelasan dari
guru.
Praktik langsung adalah
cara yang lebih menyenangkan dan mudah dipahami siswa karena mereka
mengalaminya langsung. Sehingga mereka akan mengetahui asal-usul dan cara
pemecahan masalah sains. Sains itu sendiri tidak hanya berkutat dengan
pemecahan maslah atau problem solving tetapi juga dengan problem posing yaitu
menyikapi permasalahan.
Pengembangan Intuisi
dalam Pembelajaran Sains
Intuisi atau
yang disebut firasat, gut
instinct, inner voice, hunch, dan natural feelingmerupakan
proses bawah sadar yang lebih dikendalikan oleh otak kanan meliputi akumulasi
pengetahuan, pengalaman, pembelajaran dari kreativitas dan berpikir rasional,
sehingga membentuk petunjuk naluriah berupa imaginasi pola kejadian dan
keyakinan. Dengan demikian, menuntun yang berangkutan untuk mengambil keputusan
dalam tuntutan waktu yang cepat.
Intuisi didefinisikan sebagai kemampuan nyata untuk
memperoleh pengetahuan tanpa menggunakan inferensi atau penalaran (apparent
ability to acquire knowledge without inference or
the use of reason). Dalam kamus ini juga dinyatakan
bahwa kata intuisi (intuition) berasal dari bahasa latin intueri, yang dimaknai sebagaimelihat ke dalam atau merenungkan. Intuisi memberikan kepercayaan bahwa
kita tidak perlu memberi justifikasi/pembenaran atas suatu hasil intuisi.
Salah satu bentuk pembelajaran yang
dapat mengembangkan intuisi anak adalah pembelajaran dengan teori belajar
konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan pembelajaran yang menjadikan siswa
sebagai pusat (student centered). Siswa diberikan kesempatan untuk
membangun pengetahuannya sendiri, sedangkan guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator.
Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil
konstruksi kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer
pengetahuan dari seseorang kepada yang lain. Setiap orang membangun
pengetahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan (seperti menumpahklan air
ke ember kosong ) adalah sangatlah mustahil terjadi.Pengetahuan bukanlah suatu
barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang
yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan, bila seorang guru bermaksud mentransferkan
konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus
diinterpretasikan, ditransformasikan, dan dikonstruksikan oleh siswa lewat
pengalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh
guru (misconception) menunjukkan bahwa pengetahuan kita
tidak dapat begitu saja dipindahkan melainkan harus dikonstruksikan atau
paling sedikit diinterpretasikan dan ditransformasikan sendiri oleh
siswa.
Bagi konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) dari pendidik ke peserta didik,
melainkan kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya
(belajar sendiri). Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi peserta
didik bila ia terlibat
secara sosial dalam dialog, dan aktif dalam percobaan dan pengalaman.
Pembentukan makna dapat diperoleh dari dialog antar pribadi dalam suatu
kelompok. Dalam kelompok belajar, peserta didik dapat mengungkapkan perspektifnya
dalam melihat persoalan dan hal lain yang akan dilakukan dengan persoalan itu.
Melalui kesempatan mengemukakan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain,
serta bersama-sama membangun pengertian akan menjadi sangat penting dalam
belajar, karena memiliki unsur yang berguna untuk menantang pemikiran dan
meningkatkan kepercayaan seseorang.
Intuisi itu
sendiri adalah kemampuan nyata untuk memperoleh pengetahuan tanpa menggunakan
interferensi atau penalaran. Intuisi tidak membutuhkan jastifikasi atau
pembenaran atas hasilnya. Intuisi pada hakekatnya sudah dimiliki oleh masing-masing
individu sejak mereka dilahirkan. Begitu juga halnya pada siswa, siswa telah
memiliki intuisi sebelumnya dan mereka menggunakan informasi yang ada dan
dibutuhkan sebelum mencoba memecahkan suatu masalah. Intuisi diterima sebagai
feeling individu yang tidak membutuhkan pembuktian lebih lanjut, yang perlu
dilakukan adalah mengembangkan intuisi yang telah ada. Intuisi akan muncul
selama individu memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu. Begitu juga halnya
dalam pembelajaran sains, intuisi siswa akan muncul selama berusaha keras untuk
memahami dan memecahkan suatu masalah (materi). Intuisi juga berelasi erat
dengan keyakinan, seseorang yang memiliki keyakinan kuat akan sesuatu, berarti
intuisinya terhadap hal tersebut juga kuat.
Intuisi dapat
dikembangkan melalui proses pembelajaran konstruktivisme. Siswa membangun
pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya melalui aktivitas-aktivitas
pembelajaran yang dilakukannya seperti bertanya, berdiskusi, mengemukakan
pendapat, dan lain-lain. Melalui aktivitas membangun pengetahuan inilah intuisi
siswa akan berkembang dan dapat tumbuh dengan pesat. Prinsip-prinsip dasar
pembelajaran konstruktivisme yaitu menuntut siswa untuk aktif dalam
mengkonstruksi dan menalar pengetahuannya sendiri. Walaupun intuisi adalah
kemampuan kognisi yang tidak membutuhkan penalaran, tetapi jika didalam
pembelajaran siswa memiliki kemampuan penalaran yang baik maka intuisinya akan
berkembang dengan baik pula.
Pembelajaran
konstruktivisme juga bisa dilakukan secara berkelompok. Siswa menjadi terlatih
untuk bersosialisasi, lebih mengerti akan perbedaan dan kemampuan kerjasama.
Seorang pendidik harus bisa mengerti akan keberagaman karakteristik para
siswanya. Setiap siswa mempunyai caranya sendiri untuk mengkonstruksikan
pengetahuannya. Belajar secara berkelompok akan memudahkan siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya melalui keaktifannya dalam diskusi dan dialog
kelompok. Melalui keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran, siswa akan
lebih terasah pemikirannya dan kepercayaan dirinya pun akan meningkat.
Intuisi dapat
berkembang dari suatu pengalaman. Pengalaman belajar yang bermakna dapat
mengembangkan intuisi. Pembelajaran sains yang bemakna harus dapat menyajikan
suatu pemahaman pada konsep-konsep dan pemecahan masalah serta mengasah
kemampuan siswa baik dalam hal kognitif maupun afektif. Pengalaman untuk
membangun pengetahuan baru dalam pembelajaran konstruktivisme dapat diperoleh
siswa melalui aktif dalam merestruktur pengetahuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agung
Pardini. 2011. Interaksi Multiarah dalam
Pembelajaran Aktif. Diambil dari http://sahabatguru.wordpress.com/pada 15
Januari 2013.
Juhaya
S. Praja. 2005. Aliran-aliran
Filsafat dan Etika. Jakarta:
Prenada Media.
K. Bertens.
1981. Filsafat Barat dalam
Abad XX. Jakarta: PT. Gramedia.
Marsigit.2010. The Iceberg Approach of Learning
Fractions in Junior High School: Teachers’ Simulations of Prior to
Lesson Study Activities
Rohmad
Widiyanto.Fenomenologi
Husserl dan Kaitannya dengan Telaah Ilmu Kependidikan di Indonesia.
Diambil dari http://rohmadwidy.word
press.com/2012/03/pada 15 Januari 2013.
Sembodo Ardi Widodo.
2008. Metode
Hermeneutik dalam Pendidikan. Jurnal UNISIA, Vol. XXXI No. 70 Desember 2008Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar !!!