Oleh : Riza Sativani Hayati/12708251080/Pendidikan Sains/D
Kaum
Industrialis biasa disebut dengan sebutan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu
paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih
keuntungan sebesar-besarnya. Beberapa mendifinisikan kapitalisme merupakan
sebuah sistem. Sampai saat ini, kapitalisme dipandang sebagai suatu pandangan
hidup yang hanya menginginkan keuntungan belaka. Kritik akan keberadaan
kapitalisme itu sendiri dikarenakan kapitalisme sebagai bentuk suatu penindasan
terhadap masyarakat kelas bawah, inilah yang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan aliran ini banyak di kritik dan ditentang. Terdapat tiga unsur yang
sangat penting seseorang atau sekelompok orang dapat dikatakan menganut
kapitalisme, yaitu akumulasi, ekspansi, dan eksploitasi. Akumulasi adalah
penumpukan atau penimbunan keuntungan dengan tujuan memperkaya dirinya sendiri.
Ekspansi, yaitu memperluas, suatu metode atau cara yang dilakukan untuk
mendapatkan keutungan yang lebih dengan cara menambah jumlah, yang tadinya
hanya memiliki satu perusahaan di satu tempat, kemudian para kaum kapital
menambahkan jumlah menjadi dua atau lebih, dan itu bisa di suatu tempat yang
sama ataupun berbeda dengan bertujuan agar apabila para kapital menambahkan
jumlah produksinya terebut maka keuntungan yang akan didapat besarnya akan
berkali kali lipat sesuai dengan jumlah hasil produksi tersebut. Agar lebih
mudah memahaminya, seperti contohnya apa yang dilakukan oleh sebuah mini market
(indomart, alfamart, circle K, dan lain-lain), mall, dan masih banyak lagi. Sedangkan
eksploitasi ialah mengeruk ataupun menghisap semua baik itu dari SDA maupun SDM.
Bila dari sudut SDAnya seperti apa yang dilakukan oleh PT.FREEPOT yang ada di
Irian, perusahaan tersebut mengeruk atau menghisap hasil SDA yang ada disana
seperti emas sampai habis tanpa melihat dampak yang akan terjadi, itu semua
bertujuan agar pihak kapital tersebut mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri, sedangkan bila dari sudut SDMnya
seperti perusahaan atau pabrik yang mengeruk atau menghisap tenaga, waktu dan
sebagainya terhadap para pekerja pabriknya yang berdampak merugikan bagi pihak
para pekerja pabrik tetapi akan menguntungkan pemilik pabrik (http://saptiangila.blogspot.com/search/label/pengertian%20
kapitalisme). Lantas dari penjabaran tersebut saya merasa berharap tidak
memenuhi ketiga unsur tersebut, jadi saya katakan TIDAK untuk menjadi kaum
industrialis.
Kalangan
konservatif atau kanan, dalam tradisi politik di Amerika diwakili oleh Partai
Republik, cenderung pada bentuk pemerintahan yang langsing, ramping, dan kecil.
Karena hanya bentuk pemerintahan seperti inilah yang bisa menangkal kemungkinan
terjadinya korupsi, salah-urus, selain murah dan efektif. Kaum konservatif
melihat pemerintahan sebagai semacam “necessary evil” atau
kejahatan yang terpaksa harus dilakukan karena adanya maslahat tertentu yang
bisa dicapai melalui institusi itu. Kaum konservatif jelas bukan kaum anarkis.
Meskipun mereka curiga pada pemerintah dan negara, mereka sangat membenci
“anarki” dan menekankan “order” atau keteraturan. Bagi mereka,
mekanisme sosial yang paling baik untuk mempertahankan keteraturan adalah
tradisi, nilai-nilai, asosiasi sukarela yang dikelola sendiri oleh masyarakat,
semacam “jam’iyyah” seperti dipahami oleh warga Nahdlatul
Ulama (NU). Itulah yang menjelaskan kenapa kaum konservatif sangat peduli
dengan lembaga keluarga. Bagi kaum konservatif, jika ada anggota masyarakat
jatuh sakit atau bangkrut, bukan tugas negara untuk menolongnya. Yang
pertama-tama wajib memberikan uluran tangan adalah keluarga, tetangga atau
komunitas yang menjadi “pengayom” orang bersangkutan. Masyarakat mempunyai
“mekanisme sosial” untuk mengatasi “penyakit sosial” yang muncul di kalangan
mereka. Negara tak usah ikut campur. Sebagaimana saya katakan di atas, mereka
curiga pada pemerintah dan negara, dan lebih percaya pada kekuatan lembaga
sosial. Inilah filosofi kaum konservatif atau kanan (http://www.sumbarprov.go.id
/artikel.php).
Di seberang
kaum konservatif kita jumpai sejumlah pandangan, mazhab, dan arus pemikiran
yang bermacam-macam, dan karena tak ada istilah tunggal yang bisa merangkum
semuanya, kita sebut saja arus pemikiran kedua ini sebagai kaum kiri (dalam
tradisi politik Amerika diwakili oleh Partai Demokrat). Dalam pandangan mazhab
kedua ini, negara adalah institusi yang menjadi harapan pokok masyarakat.
Negara adalah “the great dispenser of social welfare”. Negara
adalah institusi yang membagi-bagikan tunjangan kepada masyarakat yang tidak
mampu. Negara dibebani tugas besar untuk mengatasi semua “kegagalan sosial”
yang ada dalam masyarakat. Karena negara mendapat tugas yang besar, dengan
sendirinya negara menjadi gemuk, bongsor, dan menggelembung. Mazhab ini
mengkritik kalangan kanan atau konservatif dengan argumen yang tak kalah
menariknya. Bagi mereka, mengandaikan masyarakat sebagai sebuah “pasar” yang
bekerja menurut hukum-hukum tertentu, sangat tidak realistis. Bentuk masyarakat
seperti itu tak ada dalam dunia kongkrit. Negara tidak bisa duduk mencangkung
sebagai penonton saja saat terjadi malapetaka dalam masyarakat. Negara harus
turun tangan dan ikut menyelesaikannya. Negara tak bisa membiarkan masyarakat
mengatasi masalah sendiri. Alasan berdirinya negara adalah persis untuk
menolong masyarakat, bukan sekedar menjadi “polisi yang menjaga lalu-lalang
lalu-lintas”. Kaum kiri, dengan kata lain, melihat negara sebagai “mesiah” yang
diharapkan memberikan pertolongan dalam semua hal (http://www.sumbarprov.go.id/artikel.php).
Mengenai penjabaran di atas, nampaknya saya juga mengatakan TIDAK untuk menjadi
anggota golongan kaum konservatif.
Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh
kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti
kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna
filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan, humanisme adalah cara berpikir
bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya
tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang
menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka
sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai “sebuah sistem pemikiran
yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang
dipercaya terbaik bagi manusia”, bukannya pada otoritas supernatural mana pun. Dewasa
ini, humanisme telah menjadi nama lain bagi ateisme. Salah satu contohnya
adalah antusiasme terhadap Darwin yang khas pada majalah Amerika, The Humanist. Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh
pendukungnya. Salah seorang juru bicara humanisme paling terkemuka di masa kini
adalah Corliss Lamont. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis yang
intinya humanisme meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas,
bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam
semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan
supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa
supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan,
bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi. Sebagaimana
dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan
bebas diakui oleh kaum humanis (http://rykers.blogspot.com/). Saya seorang yang
beragama muslim, jadi saya katakan TIDAK dengan lantang untuk menjadi kaumnya
humanis.
Ada tiga tilopogi kaum progresif menurut Laode Ida.
Pertama, kaum progresif-transformis, yakni mereka yang secara intern
mengupayakan penyadaran terhadap subyek dengan harapan subyeklah yang akan
mengubah dirinya sendiri serta melakukan perubahan dalam komunitas yang lebih
luas. Mereka ingin melakukan pencerahan agar tidak terjebak dalam
persoalan politik pragmatis, sehingga nantinya dapat mentransformasikan
programnya dalam berbagai hal dan berbagai wilayah kehidupan. Kedua,
progresif-radikalis, yakni mereka yang memperjuangkan kesetaraan [egalitarian]
dengan menjunjung tinggi atau bersdandar pada nilai-nilai HAM dan kultur dasar
komunitas. Kelompok ini sering disebut sebagai virus pemikiran dan gerakan kiri
atau sekuler. Ketiga, progresif-moderat, yakni mereka yeng memiliki ide-ide
tentang perubahan tetapi tidak memiliki ideologi yang jelas dan
konsisten diperjuangkan. Mereka tidak mau total sebagaimana kedua kelompok
pertama, karena mereka ingin berada ditengah-tengah terhadap arus yang ada.
Ketiganya itu telah menjadi corak berfikir kalangan muda, sehinga menjadi
begitu radikal, progresif, liberal dan pluralis. Mereka banyak bergabung dalam
organisasi dan LSM yang mampu menampung cara berfikir mereka (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,12-id,7999-lang,id-c,buku
t,NU+Muda++Kaum+Progresif+dan+Sekularisme+ Baru-.phpx). Dari penjabaran ini,
mungkin saya lebih condong ingin menjadi kaum progressif-transformis.
Wallahu’alam
bi shawab.