Senin, 24 September 2012

MENGAPA HARUS ADA FILSAFAT ? Filsafat yang Menembus Ruang dan Waktu


Oleh : Riza Sativani Hayati
(PPs Pendidikan Sains Kelas D/NIM. 12708251080)

Pertanyaan “Mengapa harus ada filsafat?” ini muncul dari salah satu teman sekelas saya di selembar kertas refleksi kuliah pertama Filsafat Ilmu oleh Dr. Marsigit. Dari pertanyaan tersebut, Dr. Marsigit di perkuliahan kedua menjawab dengan bahasa filsafatnya yang sedikit “berat” bagi saya, namun saya berusaha memahaminya sedikit.
Ketika kita menanyakan “mengapa harus ada filsafat?”, maka sama dengan kita menanyakan “mengapa fikiran harus ada?” atau “mengapa manusia memiliki kemampuan berfikir?”, karena filsafat adalah olah fikir. Jawabannya bertingkat-tingkat atau berdimensi karena filsafat peka terhadap ruang dan waktu. Dimensi tersebut bisa dari material sampai spiritual. Jika dari spiritual, dari keyakinan kita, fikiran sudah diberikan kepada kita sejak lahir. Namun dari segi filsafatnya sendiri bermacam-macam “hipothetical analitic”, bisa dari antropologi, psikologi, atau sosial. Jadi tergantung kita bagaimana mendefinisikan “how to define?” fikiran. Definisi berfikir bagi anak-anak tentunya berbeda dengan definisi berfikir bagi orang dewasa. Bagi anak-anak, berfikir adalah bekerja atau berbuat, sedangkan bagi orang dewasa berfikir itu lain. Bahkan ada fakta “hatiku mampu berfikir”, itulah pandangan dari orang-orang yang menjadikan fikirannya sebagai raja, mengalahkan posisi hatinya. Jika kita mengeneralisasikan ungkapan tersebut, maka kita juga dapat mengungkapkan bahwa tumbuhan itu mampu berfikir, saat dia bergerak tumbuh mengikuti arah cahaya matahari misalnya. Jika logika kita diturunkan lagi, maka akan sampai pula kita bisa mengungkapkan bahwa batu pun mampu berfikir. Karena ini filsafat, segala kemungkinan pun terus digali, misalnya berfikir kita samakan dengan bercinta, lantas bagaimana tumbuhan hingga batu itu bercinta?. Lalu muncul pemikiran bagaimana hati itu berfikir atau bagaimana hati itu bercinta. Filsafat itu menembus ruang dan waktu, sehingga segala sesuatu yang mungkin dapat digali.
Itulah keajaiban filsafat yang mampu menembus ruang dan waktu, karena keajaiban itu kita perlu filsafat namun juga berhati-hati dalam berfilsafat. Jika kita menanyakan mengapa harus ada filsafat, tentunya karena filsafat memiliki peran penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta kemampuan filsafat mengubah pola pikir seseorang. Namun jangan sampai karena anggapan segala sesuatu sebagai objek filsafat, baik yang ada dan yang mungkin ada adalah kajian filsafat, lantas kita berfilsafat yang sesat. Sebagai contoh di atas tadi “hatiku mampu berfikir” atau “bagaimana wujud Tuhan?”, itu berarti diri kita lebih mementingkan dan mengikuti fikiran kita daripada hati kita, fikiran telah menjadi raja dalam diri kita. Sungguh sejatinya filsafat itu tetap meletakkan Tuhan dalam hati yang menjadi raja, penguasa diri kita. Wallahu’alam... Semoga Allah senantiasa menuntun hati kita.

Pertanyaan:
1.   Bagaimana peran perkembangan Teknologi Informatika dan Komunikasi terhadap perkembangan filsafat?  

Senin, 17 September 2012

BELAJAR FILSAFAT? WHY NOT? Satu Langkah Belajar Filsafat, Sepuluh Langkah Beribadah


Oleh : Riza Sativani Hayati (12708251080) Pendidikan Sains Kelas D
Diinspirasi dari Perkuliahan Filsafat Ilmu Dr Marsigit 11 September 2012

Pertama kali belajar filsafat adalah saat duduk di bangku S1 semester 3 dalam mata kuliah Filsafat Ilmu. Saat itu, kata “Filsafat” masih sangat asing bagi kita, apalagi terdengar banyak rumor efek negatif kita belajar filsafat, terutama efek atheis setelah belajar filsafat. Ketidaktahuan akan manfaat belajar filsafat ilmu dan cerita-cerita negatif terkait efek belajar filsafat membuat banyak mahasiswa malas belajar filasafat dan berfikiran negatif tentang filsafat. Hasil belajar filsafat ilmu dalam satu semester di bangku perkuliahan S-1 itu pun kandas hampir tak berbekas. Setelah mengikuti perkuliahan Dr. Marsigit di Kelas D Pendidikan Sains 2012 Hari Selasa tanggal 11 September 2012 kemarin nampaknya memberikan secercah harapan, harapan untuk memperbaiki diri dengan belajar filsafat. Dalam perkuliahan tersebut, banyak inspirasi yang didapatkan, setidaknya memotivasi saya untuk belajar filsafat lebih lanjut, terutama filsafat ilmu.
Dr Marsigit menyampaikan bahwa filsafat dapat ditaruh dimana saja, sama dengan dunia. Sebagai contoh: dunia mimpi, filsafat mimpi, artinya filasafat merupakan ilmu penting yang patut dipelajari karena memang filsafat mendasari segala ilmu, awal mula pemikiran untuk mendapatkan ilmu, dan semua ilmu, benda, atau hal di dunia ini tak terlepas dengan yang namanya olah pikir yang disebut “filsafat” itu. Filsafat dapat didefinisikan sebagai apapun.
Ungkapan filsafat dapat didefinisikan sebagai apapun, melandasi seseorang yang akan belajar filsafat harus memiliki adab dalam belajar filsafat. Adab dalam belajar filsafat tersebut antara lain seseorang yang belajar filsafat memiliki kesempatan membangun filasafatnya sendiri, baik mandiri, bersama, ataupun dalam lingkup dunia. Berfilsafat merupakan olah pikir, sehingga berfilsafat memerlukan refleksi pengalaman, maka pikiran orang yang berfilsafat adalah ½ pengalaman dan ½ filsafat. Pengalaman yang dirangkai dengan logika berfikir akan menjadi filsafat.  
Objek filsafat adalah “yang ada” dan “yang mungkin ada”. Sehingga banyak orang yang tidak mempelajari filsafat secara mendalam berfikiran bahwa filsafat adalah ilmu yang menyebabkan “jalan miring”. Manusia memiliki keterbatasan, pengembaraan berfikir juga bersifat terbatas, sehingga perlu kontrol. Terdapat pengkatagorian dalam mempelajari filsafat, dari yang paling bawah ke atas, yakni material, formal, normatif, dan spiritual. Setinggi-tinggi pengetahuan kita, kita tidak akan mampu mengetahui isi hati. Filsafat hanyalah sekedar olah pikir, dapat memikirkan hati (spiritual) akan tetapi terbatas. Oleh karena itu dalam belajar filsafat perlu kontrol dimana kita tidak boleh melampaui normatif atau mencapai pemikiran spiritual. Orang yang atheis setelah belajar filsafat biasanya karena mentang-mentang belajar filsafat, semua hal dia pikirkan, sampai-sampai ketuhanan juga dipikirkan. Dapat disimpulkan bahwa efek belajar filsafat bermacam-macam, tergantung orangnya. Dari pemikiran ini saya memilih untuk mengikuti belajar filsafat ala Dr Marsigit “1 langkah belajar filsafat, 10 langkah beribadah”. Belajar filsafat tidak untuk olah pikir sesuatu yang tidak penting akan tetapi untuk membuka pikiran, memperluas wawasan kita yang mendorong kita untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Pertanyaan :
1.    Dalam perkuliahan, Bapak menyampaikan bahwa untuk belajar filsafat, kita perlu goyahkan pikiran kita, kesampingkan rasa bahwa “pikiran kita yang paling benar” atau “saya sudah berfikir dengan benar”. Akan tetapi bagi beberapa orang yang memiliki egoisentris tinggi dan merasa sudah berwawasn luas, hal itu sangat sulit dilakukan. Lalu bagaimana cara mengubah pikiran orang yang seperti itu?
2.    Apakah ilmu teologi (yang mendalami beberapa agama dari banyak sudut pandang) termasuk berfilsafat? Lantas bagaimana dengan orang yang mengkritisi satu agama dengan agama lain? Apakah dalam ilmu filsafat ada batasan tertentu dimana kita boleh berfilsafat atau hanya orang yang mempelajari filsafat yang harus membatasi dirinya sendiri?