Jumat, 28 Januari 2011

PERKEMBANGAN BUNGA MENJADI BUAH LAMTORO (Leucaena glauca)



 Disusun Oleh : Riza Sativani, dkk

A.     Ciri Umum
Nama daerah dari Leucaena glauca antara lain adalah :
a.     Sumatera-Jawa : pete selong, pete china, lamtoro, metir, kemlandingan,
b.    Sunda-Madura : selamtara, peuteuy china, peuteuy selong, kamalandingan
c.     Asing (Inggris) : wild tamarind
Leucaena glauca berasal dari Amerika Tropis, biasa ditemukan di pekarangan sebagai tanaman pagar atau tanaman peneduh, kadang tambah liar dan dapat ditemukan dari 1-1500 m di atas permukaan laut. Leucaena glauca merupakan tumbuhan berkayu (lignaceus) atau merupakan tumbuhan yang memiliki batang pohon keras dan berukuran tidak besar. Tingginya mencapai 2-10 m, ranting berbentuk bulat silindris, dan ujungnya berambut rapat. Daunnya majemuk, menyirip genap ganda. Anak daun ukurannya kecil-kecil, terdiri dari 5-20 pasang, berbentuk bulat lanset, ujung runcing, tepi rata. Permukaan bawah daun berwarna hijau kebiruan, panjangnya 6-21 mm, lebarnya 2-5 mm. Bunganya berbentuk bonggol yang bertangkai panjang berwarna putih kekuningan dan, terangkai dalam karangan bunga majemuk. Bunganya yang berjambul warna putih sering disebut cengkaruk. Buahnya mirip dengan buah petai, namun ukurannya jauh lebih kecil dan berpenampang lebih tipis. Buah lamtoro termasuk buah polong, pipih, dan tipis, bertangkai pendek, panjangnya 10-18 cm, lebar sekitar 2 cm, berisi biji-biji kecil yang cukup banyak dan diantara biji ada sekat. Leucaena glauca ini memiliki tipe pengembangbiakan dengan penyebaran biji tua dan stek batang.

Berikut merupakan klasifikasi dari Leucaena glauca:
Kingdom   : Plantae
Divisi         : Magnoliophyta
Kelas        : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo         : Fabales
Family       : Mimosaceae
Genus        : Leucaena
Species     : Leucaena glauca

B.     Deskripsi
Leucaena merupakan tumbuhan sepanjang tahun, tidak memanjat, tegakberupa semak atau pohon kecil, dengan tinggi  5-10 m (jarang yang mencapai 20 m). Tumbuhan ini cepat tumbuh, dengan diameter batang 5-50 cm, kulit pada cabang-cabang muda biasanya  abu-abu-coklat dengan celah vertikal dangkal berwarna oranye sementara cabang yang lebih tua dan batang yang kasar berwarna merah (Hughes 1998a). Pohon ini dapat hidup dari 20 tahun sampai lebih dari 50 (Hughes 2002).
Akar tunggang yang dimiliki panjang, hingga 5 m, kuat dan berkembang dengan baik. Akar rambut yang ada kurang berkembang, dan tanaman tampaknya sangat bergantung pada asosiasi mikoriza untuk serapan hara, vesikular / mikoriza arbuskular dan nodulasi dengan rhizobia, setidaknya selama pengembangan bibit (Brandon dan Shelton 1993).
Daun hijau bipinnate teratur secara bergantian di sepanjang batang. Daun petiola memiliki panjang 10-25 cm, dengan 4-9 pasang pinna per daun, dan 13-21 pasang lembaran  per pinna (Gambar 1). Spesies ini fakultatif berganti daun; mereka dengan cepat dapat menggugurkan lembaran daun sebagai respons terhadap stres lingkungan (Rosecrance 1990). Lembaran ini berwarna abu-abu-hijau, dengan panjang 1-2 cm, lebarnya kurang dari 0,3 cm, dan mirip oblong dalam bentuk lanset. Daun menghasilkan bau ketika dihancurkan. Semua daun memiliki kelenjar di tangkai daun, disebut 'extrafloral nectaries' karena mereka berada pada daun dan mengeluarkan nektar. Kelenjar tangkai daun dari Leucaena sp  berbentuk tunggal dan berbentuk cangkir cekung, dan memiliki pori yang luas.
Bunga individu kecil dan berwarna krim putih, dengan benang sari bebas berjumlah sepuluh per bunga dan kepala putik berbulu. Bunga-bunga kecil tersebut diatur 100-180 perkelompok sehingga terlihat seperti kepala yang bulat yang berdiameter 12-21 mm di ujung tangkai yang panjang. Bunga yang hermaprodit, sebagian besar melakukan penyerbukan sendiri dan self-kompatibel. Kepala bunga berada dalam kelompok 2-6. Bunga berada pada tunas muda yang aktif tumbuh, dengan daun berkembang pada saat yang sama dengan bunga.
Biji berbentuk polong terletak merata dan kecil dan satu sama lain dibatasi oleh pembatas. Berawal dari biji kecil yang berwarna hijau, mereka akhirnya menjadi hitam dan keras bila sudah tua. Panjangnya sekitar 11-19 cm dan lebarnya 1,5-2,1.

C.     Habitat
Leucaena pada dasarnya adalah spesies tropis yang membutuhkan suhu hangat (25-30 oC) untuk pertumbuhan yang optimal, dengan toleransi dingin miskin dan secara signifikan mengurangi pertumbuhan selama bulan-bulan musim dingin di daerah beriklim sedang (Hughes 1998a). Karena intoleransi dingin, Leucaena terbatas pada ketinggian di bawah 500 m. Leucaena dapat tumbuh di daerah-daerah di atas 500-1000 m dengan mean temps tahunan di bawah 22 oC, tapi pertumbuhan ekonomi melambat dan biji kurang diatur. Di Queensland yang Lamtoro tumbuh dalam batas toleransi iklim di daerah dengan curah hujan yang rendah dan musim salju dan musim dingin karena tanah lebih cocok. Hal ini dikembangkan terutama di Queensland pusat, 100-300 km dari pantai, pada tanah lempung alkali dengan curah hujan tahunan sebesar 600-750 mm.
Leucaena tumbuh di berbagai tanah subur baik keringkan, dalam, termasuk batu kapur dan tanah alkali lainnya serta tanah vulkanik. Subspesies ini suka terganggu situs dan akan tumbuh di daerah lembab terganggu, tapi tidak akan menjadi spesies dominan. Leucaena tidak tumbuh dengan baik pada tanah dupleks lapisan tanah dangkal dengan tanah liat di dekat permukaan akibat kejenuhan mungkin. Sebuah tingkat toleransi garam

D.    Morfologi Leucaena glauca
Lamtoro berbeda dari anggota lain dari genus yang memiliki keragaman dalam intraspesifik dalam ukuran dan bentuk pohon. Lamtoro memiliki ukuran tanaman kecil (kurang dari 5 m) dan bercabang. Batang utama hingga 5 m, percabangan vertikal sudut dan sebuah mahkota sempit, terbuka, tinggi 3-15 m dengan diameter batang 10-50 cm. Tanaman menyebar jika tumbuh secara individual.

Daun Leucaena glauca merupakan daun majemuk menyirip genap ganda dua dengan sempurna (Gembong, 1985), karena anak daunnya tersusun menyirip, jumlah anak daunnya berpasang-pasangan di kanan-kiri ibu tulang daun, anak daunnya duduk pada cabang tingkat satu dari ibu tangkai, dan tidak ada satu anak daun pun yang duduk pada ibu tangkai. Ibu tangkai daun mempunyai panjang kira-kira 10-25 cm, dengan 4-9 pasang tangkai anak daun, dan dengan 13-21 buah anak daun. Anak daun berbentuk lanset dengan panjang 1-2 cm dan lebarnya kurang dari 0,3 cm.
Leucaena glauca memiliki bunga yang berbentuk bulat seperti bola yang sebenarnya pada bentukan bola itu terdiri atas banyak bunga. Masing-masing bunga menjadi satu membentuk satu kesatuan berbentuk bola, sehingga disebut dengan bunga bongkol. Tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12-21 mm. Bunga Leucaena glauca ini bertangkai dan memiliki warna putih. Bunga Leucaena glauca merupakan bunga yang lengkap, yaitu memiliki semua bagian bunga, antara lain kelopak, mahkota, benang sari dan putik. Kelopak sangat kecil, bergigi empat, seperti selaput putih. Tabung mahkota kecil, bertaju empat, seperti selaput putih. Bunga muda memiliki 10 stamen dan anthera yang  berambut. Keunikannnya dibandingkan dengan suku Legum lainnya adalah antera yang berambut ini mudah dilihat dengan mata dan yang kedua memilki permukaan pollen yang halus dan sedikit ornamentasi.  Karena bunga ini juga memiliki benang sari dan putik pada satu bunga, maka dapat disebut bahwa bunga Leucaena glauca ini merupakan bunga hermaprodit atau banci dan bunga yang sempurna.
Bunga Leucana glauca ini sebagian besar melakukan penyerbukan sendiri ataupun penyerbukan antar bunga lain (tetangga). Penyerbukannya dibantu oleh angin (Anemophili), hal ini karena struktur dari serbuk sari yang ringan, sehingga mudah diterbangkan oleh angin.
Berikut merupakan gambar struktur bunga  dan biji Leucaena glauca

E.     Perkembangan Bunga Leucaena glauca


Bunga Leucaena glauca merupakan bunga bongkol majemuk, yang ketika muda tiap-tiap satuan bunga terbungkus oleh kelopak bunga, sehingga nampak hijau. Bunga Leucaena glauca muda nampak seperti seperti buah hijau yang bulat. Seiring perkembangannya, bunga Leucaena glauca yang berupa bulatan kecil membesar dan akhirnya terlihat struktur satuan bunganya. Ketika satuan bunga Leucaena glauca mekar, kelopak bunga yang menutupinya membuka dan terlihat kumpulan bunga berwarna putih.
Bunga bongkol Leucaena glauca yang telah masak, tidak semuanya berhasil dalam proses pembuahan dan hanya beberapa saja yang berhasil menjadi buah (kebanyakan tidak mencapai 10 buah). Setelah bunga dibuahi, maka perhiasan bunga akan layu dan mengering yang akhirnya gugur seiring perkembangannya. Buah yang terbentuk akan tumbuh menjadi buah polong yang tangkainya bersatu pada dasar bunga.
Buah muda berwarna hijau muda dan lunak, seiring perkembangannya buah membesar dengan kulit hijau muda, keras, dan mengkilat. Lama-kelamaan, buah akan berubah warna menjadi kecoklatan dan akhirnya menghitam dan kering yang menyebabkan daging buah membuka di kedua sisinya dan mengeluarkan biji yang berwarna coklat tua untuk menghasilkan individu baru.

F.      Fenologi
Genus Leucaena memiliki fase muda yang singkat daripada tumbuhan berkayu lainnya, dikarenakan dapat mulai berbunga pada usia 3-4 bulan setelah tanam. Tingkat kedewasaan yang apling cepat pada genus Leucaena ini adalah Leucaena glauca yang dapat berbunga pada usia 2-4 bulan setelah tanam.
Periode vegetatif (periode dari tumbuhnya daun hingga menjadi kuncup bunga pertama) untuk Leucaena glauca adalah 80-139 hari. Mulai dari berbuah (periode dari kuncup bunga pertama hingga polong pertama) 32-48 dan 24-62 hari, dan permulaan kematangan (dari buah pertama hingga pematangan polong) adalah 100 hari dan 75-115 hari masing-masing untuk dua subspesies (Kaminski et al 2000).
Pembentukan bunga pada Leucaena leucocephala tampaknya tidak tergantung pada faktor lingkungan, karena dapat dilaksanakan secara terus menerus, dengan menghasilkan bunga dan produksi benih yang terjadi sepanjang tahun, dan umumnya siklus ini terjadi setiap enam bulan.

G.    Floral biologi, benih dan penyebaran
Bunga bongkol Leucaena berisi kumpulan bunga hermaprodit yang kecil dan berwarna putih. Bunga-bunga ini sebagian besar self-fertilised dan self-compatible yang mendukung produksi benih meskipun pada individu yang terisolasi masih bisa melakukan penyerbukan sendiri. Unur bung Leucaena hanya bertahan satu har, mekar pada malam hari, dan benang sari dijulurkan hingga melebihi atau sama panjangnya dengan putik di pagi hari. Kumpulan tepung sari jatuh langsung pada stigma dan serbuk sari terkumpul dalam ruang stigma, tempat serbuk sari berkecambah. Hal tersebut menjamin keberhasilan penyerbukan sendiri (self-fertilised) yang tinggi.
Dalam waktu satu jam benang sari telah ditarik kembali ke posisi semula yang lebih rendah dari putik. Pollinator, seperti lebah yang menyebabkan terjadinya penyerbukan silang, umumnya jarang terjadi, Pada pertengahan sore hari, anther telah berubah coklat dan ditarik kembali. Tidak ada bunga yang akan mekar sampai pagi berikutnya. Leucaena tidak memerlukan polinator seperti lebah maupun serangga lain.
Setelah biji masak, daging buah membuka secara simultan di kedua sisinya. Karena itu, penyebaran benih sebagian besar secara pasif yaitu oleh gaya gravitasi bumi yang dapat menjatuhkan benih ketika polong terbuka. Benih tersebar umumnya kurang dari 20 m, jika tanpa bantuan faktor lain. Angin membantu persebaran biji Leucaena hingga lebih dari 100 m dari tanaman induk. Faktor lain yang membantu penyebaran secara alami adalah air; sedangkan penyebaran yang disengaja oleh bisa dilakukan manusia yang bertujuan untuk budidaya dalam perdagangan, pembibitan,  pertanian dan agroforestri. Hewan termasuk burung, tikus dan ternak dapat menjadi agen persebaran benih Leucaena.

H.    Manfaat Leucaena glauca
Khasiat lamtoro, antara lain, untuk mengatasi diabetes, susah tidur, radang ginjal, disentri, meningkatkan gairah seksualitas, cacingan, peluruh haid, herpes zoster, luka terpukul, bisul, eksim, patah tulang, tertusuk kayu, bambu dan pembengkakan.
Biji lamtoro juga digunakan sebagai sayur dan makanan tradisional. Pohon lamtoro banyak digunakan sebagai tanaman penghijauan di pinggir jalan dan daerah persawahan.

DAFTAR PUSTAKA

Hughes, C.E. 1998a, 'Leucaena: A Genetic Resources Handbook', Tropical Forestry Paper No. 37, Oxford Forestry Institute, Oxford, U.K.

Kaminski, PE, Schifino-Wittmann, MT and Paim, NR 2000, 'Phenology of species of the multipurpose tree genus Leucaena Benth. (Leguminosae) growing outside their nativerange', LEUCNET News.

Walton, C.S. 2003. Leucaena in Queensland. Queensland: Natural Resources ang Mind-Queensland Government

TATA TUANG (LAYOUTING) LABORATORIUM BIOLOGI SEKOLAH


Guna mewujudkan suatu laboratorium yanhg baik diperlukan suatu perencanaan yang masak. Tata ruang hrus didesain sesuai dengan tujuan dan macam kebutuhannya. Siapa yang menggunakan laboratorium (subjek belajarnya) dan berapa besar daya tampungnya. Pada dasarnya laboratorium dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :
1.      Laboratorium Dasar
2.      Laboratorium Pengembangan
3.      Laboratorium Penelitian
4.      Laboratorium Metodologi Pengajaran
Masing-masing jenis laboratorium memilki spesifikasi serta peranan yang berbeda satu sama lain. Untuk laboratorium SLTP dan SLTA, lebih banyak didirikan laboratorium dasar. Sebab program yang diberikan kepada siswa cenderunglebih ditujukan untuk memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengenal dan memahami konsep dan prinsip-prinsip sebagai dasar pengembangan pengetahuan lebih lanjut.
Atas dasar sifat dan fungsi yang diemban oleh laboratorium, perlu kiranya dipikirkan fasilitas yang mampu memberikan kenyamanan kerja, cukup tersedianya sarana dan jaminan keselamatan kerja. Dengan terciptanya kondisi yang demikian laboratorium akan mampu memberikan dan meningkatkan gairah belajar dan bekerja dalam laboratorium. Dengan berpijak pada landasan pemikiran yang demikian maka pengaturan tata ruang harus mendapatkan perhatian utama sebelum fasilitas lain terpikirkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut :
1.    Terpenuhinya aliran udara segar ke dalam setiap ruangan dengan cara penempatan lubang ventilasi udara secara tepat
2.    Terpenuhinya kebutuhan pencahayaan. Pencahayaan yang baik akan memberikan manfaat sebagai penunjang beberapa kegiatan laboratorium yang membutuhkan pencahayaan
3.    Terpenuhinya kebutuhan aliran air bersih dan dan aliran listrik. Kedua macam kebutuhan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari berbagai macam kegiatan laboratorium
4.    Tersedianya tempat pembuangan limbah kegiatan laboratorium yang aman dan cukup higienis terhadap lingkungan dan manusia   
5.    Penempatan barang secara sistematis. Penempatan memberi kemudahan akses penggunaan barang dan memberi peluang terjadinya pembagian kerja
6.    Ruang harus memberi kemudahan mobilitas bagi pengguna, sehingga perlu diperhitungkan jarak. Kemudahan mobilitas ini juga memberikan kenyamanan dan jaminan keamanan pengguna.
Penempatan fasilitas pencahayaan, ventilasi, kran air, bak cuci,  stop kontak aliran listrik pada tempat yang tepat sesuai kebutuhan untuk setiap jenis kegiatan laboratorium. Bila memungkinkan sangat baik bila dapat disediakan ruang/kamar gelap untuk keperluan khusus pada beberapa perlakuan biologi dan keperluan audio visual atau fotografi.
Untuk memperkirakan daya tampung suatu laboratorium, Sund (1983) dalam Surachman (2007) memberikan perkiraan antara 10-15 m2 luas lantai untuk setiap siswa. Perkiraan ini sudah diperhitungkan termasuk ruang alat, bahan dan ruang-ruang lain. Tinggi setiap ruang dari lantai sampai langit-langit tidak kurang dari 3 meter. Untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan, setiap ruang harus dilengkapi dengan pintu lebar yang dilengkapi dengan daun pintu yang dapat dibuka ke arah luar.
     

DAFTAR PUSTAKA

Surachman. 2007. Pengelolaan Laboratorium. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

PEMBUATAN PREPARAT SERBUK SARI Belamcanda chinesis



Disusun Oleh : Riza Sativani Hayati, dkk 

Kegiatan yang dilakukan oleh praktikan kali ini adalah membuat preparat awetan serbuk sari dari bunga tertentu. Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan pengalaman kepada praktikan agar dapat membuat dan memahami cara preparasi serbuk sari. Praktikan membuat preparat serbuk sari dari bunga Belamcanda chinesis yang diambil dari pekarangan rumah salah satu praktikan. Bunga ini memiliki serbuk sari yang sangat kecil dan banyak, bersifat lengket, dan menempel erat pada anteranya. Berikut merupakan gambar dari bunga Belamcanda chinesis :
Klasifikasi dari bunga tersebut adalah :
Kingdom             : Plantae
Divisi                  : Magnoliophyta
Kelas                  : Liliopsida       
Ordo                  : Liliales
Famili                  : Iridaceae
Genus                 : Belamcanda
Spesies               : Belamcanda chinesis
Nama Lokal        : Brojo Lintang
Dalam pembuatan preparat polen bunga ini, metode yang digunakan oleh praktikan adalah metode asetolisis. Asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari yang menggunkan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil amatan morfologi dinding serbuk sari ornamentasi dari serbuk sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan dalam pembuatan preparat ini haruslah merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk sari yang matang ini dapat ditandai dengan sudah tidak ada air dalam serbuk sari tersebut, jika serbuk sari dipatahkan maka hanya akan seperti tepung saja. Dari serbuk sari bunga Belamcanda chinesisII, kematangan serbuk sari ditandai dengan serbuk sati yang sudah kering dan ringan sehingga mudah terlepas dari anteranya.
Langkah-langkah dari proses asetolisis ini antara lain adalah fiksasi, pemanasan, pencucian, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labelling. Langkah pertama yaitu fiksasi serbuk sari. Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan, dalam hal ini serbuk sari agar tetap pada tempatnya, dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran dengan media kimia sebagai fiksatif. Fiksasi umumnya memiliki kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat di bawah mikroskop. Tetapi tidaklah berarti banyak, karena tanpa diwarnai bagian-bagian jaringan tidak akan dapat jelas dibedakan satu sama lain, dan untungnya fiksatif mempunyai kemampuan untuk membuat jaringan mudah menerap zat warna. Dari proses fiksasi ini, fiksatif diharapkan akan :
1.    Menghentikan proses metabolisme dengan cepat
2.    Mengawetkan elemen sitologis dan histologis
3.    Mengawetkan bentuk yang sebenarnya
4.    Mengeraskan atau memberi konsistensi material yang lunak biasanjya secara koagulasi, dari protoplasma dan material-material yang dibentuk oleh protoplasma
Ada dua macam fiksatif, yaitu fiksatif sederhana dan majemuk atau campuran. Fiksatif sederhana merupakan larutan yang di dalamnya hanya mengandung satu macam zat saja, sedangkan fiksatif majemuk atau campuran adalah larutan yang di dalamnya mengandung lebih adri satu macam zat. Fiksatif yang digunakan serbuk sari dalam pembuatan preparat ini ada satu bahan utama yaitu asam asetat glasial dan satu bahan tambahan, yaitu H2SO4 (asam sulfat) pekat. Kedua fiksatif tersebut termasuk dalam fiksatif sederhana. Asam asetat adalah cairan yang tidak berwarna dengan bau yang tajam. Sedangkan asama asetat glasial adalah asam asetat yang padat dan murni serta dapat mencair pada suhu 117°C. Asam asetat dapat bercampur dengan alkohol dan air. Fiksatif ini dibuat dengan jalan distilasi dari kayu dalam ruang hampa udara. Hasil distilasi ini adalah piroligneous, dimana piroligneous ini adalah campuran yang mengandung asam asetat yang kemudian asam asetat ini kemudian dipisahkan dari campurannya.
Dalam pembuatan preparat serbuk sari ini, praktikan menggunakan botol vloken untuk fiksasi. Serbuk sari bunga Belamcanda chinesis yang lengket dan melekat erat dengan anteranya ini dimasukkan dalam botol vloken yang sudah berisi asam asetat glasial. Asam asetat glasial yang digunakan sebanyak setengah botol vloken yang dipakai untuk fiksasi, hal ini berdasarkan literatur yang mengatakan banyaknya larutan fiksatif yang digunakan minimal sepuluh kali volume jaringan. Setelah serbuk sari dimasukkan dalam asam asetat glasial, selanjutnya fiksatif dibiarkan 24 jam di dalam suhu ruang.
Asam asetat dapat mengendapkan nukleoprotein, tetapi melarutkan histon dalam nukleus, tidak melarutkan lemak, juga bukan pengawet karbohidrat. Daya penetrasinya cepat, tetapi dapat membengkakkan jaringan,  ini disebabkan oleh bertambahnya diameter serabut-serabut dalam jaringan tersebut. Asam asetat memiliki dua fungsi dalam sitologi, yaitu mencegah pengerasan dan mengeraskan kromosom. Dalam konsentrasi tinggi, asam asetat dapat menghancurkan mitokondria dan apparatus golgi.         
Setelah fiksasi minimal 24 jam, selanjutnya yang dilakukan adalah centrifuge serbuk sari dan fiksatif dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Tujuan dari centrifuge ini adalah memisahkan serbuksari dan asam asetat glacial, karena serbuk sari berukuran kecil dan bercampur dengan asam asetat glacial sehingga serbuk sari susah untuk diambil, maka diperlukan centrifuge. Dari hasil centrifuge ini akan terbentuk supernatan asam asetat dan endapan serbuk sari. Asam asetat kemudian dibuang, sehingga didapatkan serbuk sari yang mengendap di dasar tabung centrifuge saja. Pembuangan asam asetat ini perlu kehati-hatian agar serbuk sari yang mengendap di dasar tabung tidak menyebar kembali dalam larutan asam asetat dan akan ikut terbuang.
Langkah selanjutnya adalah menambahkan larutan campuran antara H2SO4 pekat dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1 : 9 pada tabung centrifuge yang berisi endapan serbuk sari. Penambahan larutan kemudian diikuti dengan pemanasan campuran larutan tersebut di dalam waterbath (penangas air) di atas lampu spiritus. Pemanasan ini dilakukan hingga air dalam penangas mendidih. Pemanasan larutan ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari. Sedangkan penambahan H2SO4 dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:9 ini berfungsi untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk sari (asetolisis), sehingga setelah dibuat preparat, morfologi eksin serbuk sari akan terlihat lebih jelas dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini juga berfungsi seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur dari serbuk sari.
Setelah pemanasan dalam waterbath selesai, serbuk sari dalam larutan akan berubah warna menjadi agak kecoklatan. Serbuk sari dan larutan yang dipanaskan ini kemudian didinginkan sejenak. Setelah dingin, langkah selanjutnya adalah melakukan centrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang telah terasetolisis, memisahkannya dari larutan asam asetat glasial dan H2SO4 pekat. Centrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan kecepatan 2000 rpm. Hasil centrifuge adalah supernatan di bagian atas tabung centrifuge, yaitu larutan asam asetat glasial dan asam sulfat pekat serta endapan di dasar tabung, yaitu serbuk sari yang telah terasetolisis. Supernatan kemudian dibuang secara hati-hati agar serbuk sari kyang sudah mengendap tidak menyebar kembali kedalam larutan dan ikut terbuang.
Langkah selanjutnya adalah pencucian serbuk sari dengan aquadest sebanyak dua kali. Pencucian dilakukan dengan penambahan aquadesh ke dalam tabung centrifuge yang berisi serbuk sari kemudian melakukan centrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk mendapatkan serbuk sari yang bersih tanpa ada sisa zat kimia seperti fiksatif dalam serbuk sari yang akan dibuat preparat.
Setelah pencucian, tahap berikutnya adalah pewarnaan (staining) dengan menggunakan safranin 1 %. Tujuan utama dari pewarnaan adalah untuk meningkatkan kontras warna serbuk sari dengan sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari doi bawah mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk sati serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari. Safranin adalah suatu chlorida dan zat warna  basa yang kuat. Zat warna ini tergolong dalam zat warna golongan azine, yaitu zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoid yang dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Sebenarnya, zat warna ini akan mewarnai dengan sangat baik bila jaringan difiksasi dengan larutan fleming. Dalm pembuatan preparat serbuk sari, pewarnaan serbuk sari menggunakan safranin hasilnyas lebih baik. Walaupun safranin sering digunakan dalam kegiatan praktikum ada kendala yang dihadapi yaitu harga safranin yang mahal, mudah rusak, dan sulit dalam penyimpanan. Selain harga yang mahal safranin juga memiliki kelemahan diantaranya adalah tidak mudah dalam penggunaannya dan sangat lambat dalam proses pewarnaannya. Dalam proses pewarnaan, safranin dilarutkan dalam sedikit aquades, hal ini masih dilakukan dalam tabung centrifuge. Setelah pewarnaan serbuk sari, kemudian dilakukan centrifuge kembali yang ditujukan untuk mendapatkan serbuk sari yang terwarnai dengan memisahkannya dengan larutan safranin dan aquades. Centrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan kecepatan 2000 rpm. Hasil dari sentriufuge adalah supernatan berupa larutan safranin dan aquadesh yang selanjutnya dibuang dan endapan berupa serbuk sari di dasar tabung yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan preparat serbuk sari.
Langkah selanjutnya setelah pewarnaan adalah mounting. Mounting atau penutupan ini merupakan langkah penting dalam pembuatan preparat, dimana serbuk sari diambil dari dasar tabung centrifuge kemudian diletakkan pada salah satu sisi object glass. Kemudian, di masing-masing sisi dari serbuk sari yang diletakkan ini disusun empat potongan kecil parafin. Selanjutnya di atas serbuk sari diletakkan potongan lembaran gliserin jelli. Susunan tersebut perlu dipertimbangkan peletakannya agar dapat dihasilkan preparat yang rapi dan proporsional. Setelah penyusunan gliserin jelli, parafin, dan serbuk sari selesai, langkah berikutnya dalam mounting adalah penutupan susunan tersebut dengan cover glass.
Setelah cover glass diletakkan secara benar di atas susunan tersebut, maka dilakukan pemanasan. Pemanasan ditujukan untuk mencairkan parafin dan gliserin jelli agar dapat menutup serbuk sari, sehingga dihasilkanlah preparat serbuk sari yang tahan dalam selang beberapa waktu. Pemanasan ini dilakukan dengan melalukan object glass dengan susunan gliserin jelli, parafin, serbuk sari, dan cover glassnya di atas lampu spiritus secara perlahan dan hati-hati. Untuk melalukan glass object ini harus dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh terlalu lam agar diperoleh preparat yang baik, karena kalau terlalu lama saat pemanasan, akan timbul gelembung dalam preparat akibat dari mendidihnya gliserin jelli di atas api. Hal ini akan mengganggu pengamatan serbuk sari dari preparat yang dihasilkan. Sehingga hal ini perlu dihindarkan. Dalam penentuan medium yang digunakan dalam mounting preparat serbuk sari ini, harus dipilih yang indeks refraksinya berbeda dari indeks refraksi serbuk sari (1,55-1,60). Gliserin memiliki indeks refraksi 1,4, dan baik digunakan untuk preparat semi permanen.
Langkah terakhir dalam proses pembuatan preparat serbuk sari adalah labelling. Labelling merupakan tindakan pelabelan preparat. Preparat diberikan label dengan kertas label bertuliskan nama preparat, yakni preparat serbuk sari bunga Belamcanda chinesis.
Setelah preparat jadi, dilakukan pengamatan di bawah mikroskop untuk mengetahui hasil preparasi dan mengetahui struktur serta ornamentasi dinding serbuk sari dan mengetahui karakteristik lain dari serbuk sari Bunga Belamcanda chinesis. Dari hasil pengamatan di bawah mikroskop yang dilakukan oleh praktikan, nampak bahwa serbuk sari bunga Belamcanda chinesis berbentuk bulat lonjong dan dinding serbuk sari memiliki spina di sepanjang permukaannya. Selain itu di bagian tengah serbuk sari nampak seperti ada garis belahan yang membagi serbuk sari menjadi dua. Setelah dilakukan mikrometri, berdasarkan literatur yang didapatkan, serbuk sari bunga Belamcanda chinesis ini tergolong dalam serbuk sari dengan ukuran yang sangat besar, karena hanya memiliki panjang 120 µm dan lebar 100 µm, walaupun secara kasat mata praktikan menganggap berukuran sangat kecil yang lengket dan menempel pada antera      


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pembuatan Slide Preparat Tumbuhan. Diambil dari http://service-mikroskop.blogspot.com/2009/05/pembuatan-slide-preparat-mikroskop.html pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Anonim. Palaeobotani. Diambil dari http://www.scribd.com/merihastuti/ documents pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Anonim. Pembuatan Preparat Mikroskopis dan Awetan. Diambil dari www.google.com pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Anonim. Pembuatan Preparat Mikroskopis dan Awetan (sediaan utuh / wholemount). Diambil dari http://07oneklikbiologi.wordpress.com/ 2010/09/27/pembuatan-preparat-mikrokopis-dan-awetan-sediaan-utuhwholemount/ pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Anonim. Preparat Pollen dan Spora. Diambil dari http://t4q1y4.blog.com/? p=4628201 pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Ratnawati, dkk. 2010. Petunjuk Praktikum Mikroteknik. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY.
Suntoro, Handari. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Susandarini, Ratna. Teknik Preparasi Serbuk Sari Dan Pengamatan Preparat Serbuk Sari. diambil dari http://elisa1.ugm.ac.id/comm_view.php? BIO3107.Paleobotani. pada hari Rabu, 5 Januari 2010.
Zulham. 2010. Dasar-Dasar Memahami Sel dan Jaringan. Diambil dari www.google.com pada hari Rabu, 5 Januari 2010.