Jumat, 11 Juni 2010

STRUKTUR DAN FUNGSI HEMOGLOBIN DAN MIOGLOBIN


A.       Struktur Hemoglobin
Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel darah merah yang mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan di seluruh tubuh dan mengambil karbondioksida dari jaringan tersebut dibawa ke paru untuk dibuang ke udara bebas.
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Mutasi pada gen protein hemoglobin mengakibatkan suatu golongan penyakit menurun yang disebut hemoglobinopati, di antaranya yang paling sering ditemui adalah anemia sel sabit dan talasemia.
Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi sekitar 64,000 Dalton.
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.
   
Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa mengakibatkan anemia. Nilai normal hemoglobin adalah sebagai berikut :
Anak-anak              11 – 13 gr/dl
Lelaki dewasa        14 – 18 gr/dl
Wanita dewasa       12 – 16 gr/dl
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan polinemis.

B.       Struktur Mioglobin
Mioglobin (BM 16700, disingkat Mb) merupakan protein pengikat oksigen yang relatif sederhana, ditemukan dalam konsentrasi yang besar pada tulang dan otot jantung, membuat jaringan ini berwarna merah yang berfungsi sebagai penyimpan oksigen dan sebagai pembawa oksigen yang meningkatkan laju transpor oksigen dalam sel otot. Mamalia yang menyelam seperti ikan paus yang menyelam dalam waktu lama, memiliki mioglobin dalam konsentrasi tinggi dalam ototnya. Protein seperti mioglobin juga banyak ditemukan pada organisme sel tunggal. Mioglobin merupakan polipeptida tunggal dengan 153 residu asam amino dan satu molekul heme. Komponen protein dari mioglobin yang disebut globin, merupakan rantai polipeptida tunggal yang berisi delapan α-heliks (Gambar 1). Sekitar 78% residu asam amino dari protein ditemukan dalam α-heliks ini.
Gambar 1. Struktur mioglobin. Segmen delapan α-heliks (terlihat sebagai silinder) diberi label A sampai H. Residu non heliks pada lipatan diberi label AB, CD, EF dan seterusnya menandakan segmen yang disambung. Heme terikat pada ruang yang terbentuk oleh heliks E dan F, meskipun residu asam amino dari segmen lain juga berpartisipasi
Lipatan rantai globin membentuk celah yang hampir terisi gugus heme. Heme bebas [Fe2+] mempunyai afinitas tinggi terhadap O2 dan dioksidasi searah membentuk hematin [Fe3+]. Hematin tidak dapat mengikat O2. Interaksi nonkovalen antara sisi asam amino rantai dan cincin porfirin nonpolar yang mengandung celah sisi ikat oksigen meningkatkan afinitas heme terhadap O2. Peningkatan afinitas melindungi Fe2+ dari oksidasi dan memungkinkan pengikatan oksigen yang reversibel. Semua asam amino yang berinteraksi dengan heme nonpolar kecuali dua histidin, yang berikatan langsung dengan atom besi heme dan histidin yang lain menstabilkan sisi ikat oksigen. Ketika oksigen terikat pada heme bebas, aksis dari molekul oksigen posisinya pada sudut ikatan Fe-O (Gambar 2a), berlawanan dengan hal ini, ketika CO2 berikatan dengan heme bebas Fe, C dan O berada pada garis lurus (Gambar 2b). Kedua kasus tersebut mencerminkan geometri orbital hibridisasi masing-masing ligan. Pada mioglobin, His64 (His E7), pada sisi ikat O2 heme, terlalu jauh untuk berkoordinasi dengan heme besi, tetapi berinteraksi dengan ligan yang terikat pada heme. Residu ini disebut distal his, yang tidak berefek pada pengikatan oksigen (Gambar 2c) tetapi dapat menghalangi pengikatan linier CO, menjelaskan pengurangan pengikatan CO ke heme.
Gambar 2. Efek sterik pengikatan ligan ke heme pada mioglobin. (a) Oksigen terikat pada heme dengan O2 (b) Karbon dioksida terikat pada heme bebas. (c) Ilustrasi yang memperlihatkan susunan residu asam amino mengelilingi heme mioglobin. Pengikatan O2 merupakan ikatan hidrogen pada distal His, His E7 (His64), yang memfasilitasi pengikatan O2

C.       Fiksasi Oksigen
Protein yang merupakan penyusun darah yang berperan mengikat oksigen adalah mioglobin. Mioglobin tidak cocok sebagai protein pengangkut oksigen, tetapi efektif sebagai protein penyimpan oksigen. Mioglobin pada jaringan otot merah mengikat oksigen yang dalam keadaan kekurangan oksigen akan dilepas sehingga bisa digunakan oleh mitokondria otot untuk sintesis ATP yang bergantung oksigen. Mioglobin yang teroksigenasi, molekulo oksigen menempati posisi koordinasi keenam dari atom besi dan juga gerakan His F8 serta residu yang secara kovalen berikatan dengan His F8 ke arah bidang cincin. Gerakan ini menimbulkan konformasi baru untuk bagian-bagian protein.
Ketika O2 berikatan dengan mioglobin, ikatan antara satu molekul oksigen dengan Fe2+ berada tegak lurus terhadap bidang heme.  Molekul O2 kedua berikatan dengan sudut 121o terhadap bidang heme dan terarah menjauhi histidin distal. Pengikiatan oksigen disertai dengan putusnya ikatan garam anatar residu terminal karboksil pada keseluruhan subunit. Pengikatan O2 selanjutnya dipermudah karena jumlah ikatan garam yang putus menjadi lebih sedikit. Perubahan ini mempengaruhi struktur hemoglobin. Satu pasang sub unit α/ mengadakan rotasi terhadap pasangan α/ lain, sehingga menempatlkan tentramer dan meningkatkan afinitas heme terhadap O2.
   Saat oksigenasi, atom besi deoksihemoglobin bergerak ke dalam bidang cincin heme. Gerakan ini diteruskan pada histidin proximal, yang bergerak menuju bidang cincin dan dan pada residu asam amino yang melekat pada his F8. Oksigen yang telah terlepas dari hemoglobin menuju ke jaringan, hemoglobin kemudian mengamgkut CO2 dan proton ke dalam paru.

Ketika O2 berikatan dengan mioglobin, ikatan antara satu molekul oksigen dengan Fe2+ berada tegak lurus terhadap bidang heme. Molekul O2 kedua berikatan dengan sudut 121 derajat terhadap bidang heme dab terarah menjauhi istidin distal.
     Hemoblobin
Pengikatan O2 disertai dengan putusnya ikatan garam antara residu terminal karboksil pada keseluruhan empat sub unit. Pengikatan O2 berikutnya dipermudah karena jumlah ikatan garam yang putus menjadi lebih sedikit. Perubahan ini juga sangat mempengaruhi struktur sekunder, tersier, dan kwartener hemoglobin. Satu pasang subunit α/β mengadakan rotasi terhadap pasangan α/β yang lain sehingga memampatkan tetramer tersebut dan meningkatkan afinitas heme terhadap O2.
Struktur kuartener hemoglobin yang teroksigenasi-sebagian dinyatakan sebagai status-T (taut, tegang) dan struktur kuartener hemoglobin yang teroksigenasi (HbO2) sebagai status R (rileks). R dan T juga digunakan untuk mencirikan struktur kuartener enzim alosterik, dengan status T memiliki afinitas substrat yang lebih rendah.
Saat oksigenasi, atom besi deoksihemoglobin bergerak ke dalam bidang cincin heme. Gerakan ini diteruskan pada histidin proksimal (F8), yang bergerak menuju bidang cincin, dan pada residuasam amino yan melekat pada His F8.

STRUKTUR DAN FUNGSI HORMON


A.     Struktur Hormon
Hormon (dari bahasa Yunani,hormone,berarti “merangsang”) adalah sinyal kimiawi yang disekresikan ke dalam cairan tubuh, paling sering kedalam darah dan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bersifat mengatur di dalam tubuh. Hormon bisa mencapai smua bagian tubuh, tetapi jenis sel-sel tertentu saja, yaitu sel-sel target, yang memiliki kemampuan memberikan respon terhadap sinyal tersebut. Dengan demikian, hormon tertentu yang bersirkulasi dalam aliran darah akan menimbulkan respon spesifik dari sel-sel target. Secara keseluruhan, semua sel penghasil hormone pada seekor hewan menyusun system endokrin. Organ pensekresi hormone disebut kelenjar endokrin, dan juga disebut kelenjar buntu atau tanpa duktus (ductless gland) karena mensekresikan pembawa pesan kimiawinya secara langsung ke dalam cairan tubuh. Beberapa contoh kelenjar endokrin antara lain: hipotalamus, hipofise, tiroid, paratiroid, thymus, pancreas, mukosa lambung, usus halus, adrenal, ginjal, dan gonade. 
Berdasarkan komposisi kimianya hormon dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a.    Kelompok yang berasal dari derivate asam amino. dikeluarkan oleh sel kelenjar buntu yang berasal dari jaringan nervus medulla suprarenal dan neurohipofise, contoh epinefrin dan norepinefrin
b.    Kelompok yang berasal dari polipeptida (protein), dibuat oleh kelenjar buntu yang berasal dari jaringan alat pencernaan. Contoh : hormon-hormon pituitaria (FSH, LH, TSH, ADH, dan oksitosin)
c.    Kelompok yang berasal dari kolesterol (hormon steroid), dibuat oleh kelenjar buntu yang berasal dari mesotelium, contoh: progesteron, estrogen, aldosteron, dsb.
d.    Kelompok yang berasal dari asam lemak tak jenuh dengan atom C-20 (hormon eikosanoat). Contoh: prostaglandin.


Sedangkan berdasarkan fungsinya, hormon dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Hormon perkembangan, yaitu hormon yang memegang peranan di dalam perkembangan dan pertumbuhan. Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar gonad
b.      Hormon metabolisme, proses homeostasis glukosa dalam tubuh diatur oleh bermacam-macam hormon, contoh glukokortikoid, glukagon, dan katekolamin
c.       Hormon tropic, dihasilkan oleh struktur khusus dalam pengaturan fungsi endokrin yakni kelenjar hipofise sebagai hormon perangsang pertumbuhan folikel (FSH) pada ovarium dan proses spermatogenesis (LH)
d.      Hormon pengatur metabolisme air dan mineral, kalsitonin dihasilkan oleh kelenjar tiroid untuk mengatur metabolisme kalsium dan fosfor.

B.     Prinsip Umum Komunikasi Antar Sel
Molekul sinyal ekstraseluler berikatan dengan reseptor yang spesifik. Sebagai contoh, budding pada khamir Saccharomyces cerevisiae. Sel-sel khamir berkomunikasi dengan sel lainnya untuk perkawinan dengan mensekresikan beberapa macam peptida kecil. Molekul sinyal ekstraseluler dapat bertindak pada jarak yang dekat ataupun jauh.
Ada 4 tipe sinyal komunikasi sel yaitu:
1.    Paracrine signaling; bergantung pada sinyal-sinyal yang dikeluarkan ke dalam ruang ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya suatu proses secara lokal atas sel-sel tetangga. Pada tipe sinyal ini, molekul-molekul sinyal disekresikan, molekul sinyal yang disekresikan mungkin dibawa jauh untuk bertindak berdasarkan target yang jauh, atau mungkin bertindak sebagai perantara lokal yang hanya mempengaruhi sel-sel dalam lingkungan yang dekat dari pemberian isyarat sel.
2.    Synaptic signaling; dilakukan dengan neuron yang meneruskan sinyal-sinyal secara elektrik sepanjang akson dan melepaskan neurotransmitter di sinapsis, yang seringkali berlokasi jauh sekali dari sel. Sel saraf (neuron) dimana khususnya menyampaikan proses-proses panjang (akson) memungkinkan sel saraf untuk kontak dengan sel target yang letaknya jauh sekali. Ketika diaktivasi oleh sinyal-sinyal dari lingkungan atau dari sel-sel saraf lainnya, neuron mengirimkan impuls elektrik secara cepat di sepanjang akson; ketika impuls mencapai ujung akson, hal ini menyebabkan ujung saraf mensekresikan sinyal kimiawi yang disebut neurotransmitter. Sinyal ini disekresikan ke cell junctions khusus yang disebut chemical synapses. Synaptic signaling lebih tepat daripada endocrine signaling dalam hal waktu dan tempat.
3.    Endocrine signaling; bergantung pada sel-sel endokrin, yang memsekresikan hormon ke aliran darah yang lalu didistribusikan secara luas di sepanjang tubuh. Sel-sel endokrin mensekresikan molekul-molekul sinyal yang disebut hormon ke aliran darah yang membawa sinyal ke sel target yang didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh.
4.    Autocrine signaling; tipe ini dapat mengkoordinasi keputusan dengan grup-grup sel serupa. Pada autocrine signaling, sel mensekresikan molekul sinyal yang dapat berikatan kembali dengan reseptornya sendiri. Autocrine signaling merupakan tipe paling efektif ketika dilakukan secara serempak dengan sel-sel tetangga yang tipenya sama. Autocrine signaling dianggap menjadi suatu mekanisme yang mungkin mendasari "efek komunitas" yang diamati pada perkembangan awal, selama grup sel-sel serupa dapat menanggapi sinyal yang menginduksi diferensiasi tapi tidak dapat pada sel tunggal bertipe sama yang terisolir. Sel kanker seringkali menggunakan autocrine signaling untuk mengatasi kontrol normal pada perkembangbiakan dan kelangsungan hidup sel.
Gap junctions membolehkan informasi sinyal untuk dibagi dengan sel-sel tetangga. Saluran-saluran gap junctions membolehkan pertukaran molekul-molekul sinyal intraseluler kecil (perantara intraseluler), seperti Ca2+ dan cyclic AMP, tetapi bukan makromolekul, seperti protein atau asam nukleat. Sel-sel yang terhubung dengan gap junctions dapat berkomunikasi dengan sel lainnya secara langsung.
Ada 2 tipe reseptor yaitu reseptor intraseluler dan reseptor permukaan sel. Reseptor intraseluler ada yang lambat (mengubah ekspresi gen) dan cepat (mengubah fungsi protein). Contoh reseptor intraseluler yang cepat adalah sinyal gas nitrat oksida yang berikatan secara langsung dengan enzim dibagian dalam sel target. 3 kelas terbesar pada protein reseptor permukaan sel:
1.         Ion-channel-linked receptors juga dikenal sebagai transmitter-gated ion channels atau ionotropic receptors. Membuka atau menutup secara singkat sebagai jawaban atas pengikatan suatu neurotransmitter.
2.         G-protein-linked receptors: memerantarai respon terhadap berbagai macam molekul sinyal,meliputi hormon, neurotransmitter, dan perantara lokal. Semua G-protein-linked receptors termasuk famili besar homolog, 7-pass transmembrane proteins. Protein reseptor ini dapat mengaktivasi atau inaktivasi enzim yang terikat pada membran plasma atau ion channel melewati protein G secara tidak langsung.
3.         Enzyme-linked receptors memiliki 6 subfamili yaitu receptor tyrosine kinase, tyrosine-kinase associated-receptors, receptorlike tyrosine phosphatases, receptor serine/threonine kinases,receptor guanylyl cyclases, dan histidine-kinase-associated receptors. Protein reseptor ini merupakan protein transmembran dengan domain pengikatan ligan pada permukaan luar membran plasma. Contoh: kemotaksis bakteri yang diperantarai oleh histidine-kinase-associated chemotaxis receptors.
Tahap proses cell signaling yaitu:
1.         Reception; agak mirip dengan pengenalan enzim dengan substratnya (kompleks enzim-substrat), sama dengan hipotesis kunci dan gembok dari pengenalan enzim dan substrat. Molekul ligan (biasanya larut dalam air) dikenal oleh hanya 1 protein reseptor yang berikatan dengan membran sel.
2.         Transduksi; menimbulkan perubahan konformasi pada reseptor. Perubahan konformasi ini menyebabkan reseptor berinteraksi dengan molekul intraseluler lainnya. Transduksi mungkin menyebabkan banyak perubahan konformasi/struktural pada protein seluler lainnya. Enzim yang tidak aktif menjadi aktif; Respon; biasanya aktivitas seluler, sebagai katalisis enzim atau penyusunan kembali sitoskeleton atau aktivitas gen yang spesifik.

C.     Reseptor Sel
Struktur protein reseptor di membran plasma cukup beragam.. Keanekaragaman struktur ini berkaitan dengan kenyataan bahwa hormone yang mampu berinteraksi dengan reseptor membran plasma juga secara struktural bermacam-macam. Golongan katekolamin, misalnya, adalah molekul kecil, sedangkan hormone glikoprotein misalnya thyroid stimulating hormone (TSH) dan golongan gonadotropin, luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH), memiliki struktur yang kompleks.
Secara umum, protein reseptor membran dapat dibagi menjadi 3 ranah atau domain yang secara fungsional berbeda. Ranah pengikat ligan, yang sering mengalami glikosilasi berat, terdapat di bagian ekstra sel dari membran sel dan seperti yang diisyaratkan oleh namanya, bertanggung jawab mengikat hormon dalam darah. Ranah transmembran terdiri dari tujuh kumpulan residu asam amino α-heliks terpisah yang terentang menembus membran (membrane spanning) dan menambatkan reseptor ke sel. Konfigurasi heliks transmembran mungkin membentuk suatu “kantung” bagi ligan. Ranah sitoplasma adalah rantai asam amino dengan panjang beragam yang memanjang dari ranah VII. Ranah sitoplasma beberapa reseptor memiliki fungsi katalitik, seperti aktivitas tirosin kinase.
Efek Intrasel Pengikatan Ligan ke Reseptor Permukaan Sel :
Pengikatan ligan ke reseptor mencetuskan suatu jenjang reaksi biokimia yang akhirnya mengaktifkan sistem efektor intrasel. Reseptor digolongkan berdasarkan sistem efektor intrasel atau “perantara kedua” mana yang terinduksi oleh sinyal pengikatan hormon ke reseptor.
Golongan utama pada jalur reseptor membran-efektor adalah cAMP, inositol 1,4,5-trifosfat (IP3), diasilgliserol (DAG), atau ion terutama Ca2+, yang berfungsi sebagai perantara kedua di dalam sitosol. Bagi banyak resptor, sistem efektor sitosolik atau perantara kedua ini berfungsi hanya apabila protein transduser intramembran (yang dkenal sebagai protein G karena berikatan dengan guanidine trifosfat (GTP)) telah diaktifkan.
Golongan kedua reseptor membran hanya memiliki sebuah ranah transmembran dan dengan sedikit perkecualian, tidak memerlukan intervensi enzim ata protein G intramembran terpisah untuk menyalurka efek fisiologis ligan. Reseptor-reseptor ini mengandung sisem efektor sebagai bagian intrinsic strukturnya. Misalnya, reseptor untuk insulin dan untuk faktor pertumbuhan lainnya seperti faktor pertumbuhan mirip insulin I (IGF-I), platelet-derived growth factor (PDGF), dan faktor pertumbuhan epidermis (EGF), memiliki aktivitas enzimatik di dalam ranah intrasel yan dapat memfosforilasi residu tirosin (suatu aktivitas tirosin kinase). Apabila reseptor tersebut mengukat hormon, tirosin kinase terangsang untuk melakukan autofosforilasi terhadap rsidu trosin pada reseptor, yang kemudian melakukan fosforilasi protein lain di dalam sel. Terjadi pengaktifan protein yang berjenjang, dan masing-masing kinase pada jenjang tersebut melakukan fosforilasi protein berikutnya pada sekuens.
Pengaturan Reseptor Permukaan Sel :
    Jumlah reseptor pada sebuah sel diatur oleh proses yang dikenal sebagai down-regulation. Setelah hormon berikatan dengan reseptor, kompleks hormon-reseptor diserap oleh sel melalui proses endositosis. Vesikel endositik kemudian berfusi dengan lisosom, dan enzim lisosom menguraikan hormon peptida tersebut. Reseptor juga mungkin terurai, atau didaur ulang ke permukaan sel. Internalisasi reseptor ini menurunkan jumlah reseptor yang terdapat di permukaan sel. Dengan demikian, resptor mengalami down-regulation (tertekan).

D.    Mekanisme Seluler Kerja Hormon
Mekanisme kerja hormon secara umum diawali oleh adanya ikatan hormon dengan reseptor spesifik yang terdapat pada sel target, yang kemudian memacu reaksi enzimatis berantai (kaskade) sehingga menimbulkan efek seluler tertentu. Ada beberapa model mekanisme kerja hormon pada sel target, antara lain:
1.      Mekanisme kerja FSH pada sel target
Mekanisme kerja FSH pada sel target berawal dari:
a.    Ikatan antara domain protein FSH dengan reseptor spesifik FSH (R-FSH) yang terletak pada permukaan luar membran plasma sel granulosa, dan bagian karbohidrat FSH berinteraksi dengan komponen membran molekul reseptor (Hsueh et al., 1989; Timossi et al., 1998).
b.    Kompleks ikatan FSH-RFSH berperan mengaktifkan protein G (Gs), selanjutnya protein G mengaktifkan enzim adenilat siklase (AC) yang terdapat di dalam membran plasma sel granulosa (intrinsik).
c.    Enzim AC berperan mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic-adenosine monophosphate (cAMP) sehingga terjadi peningkatan jumlah cAMP intraseluler.
d.    Selanjutnya, cAMP sebagai second messenger berperan mengaktifkan subunit regulatori protein kinase A (PKA) yang selanjutnya akan mengaktifkan subunit katalitik PKA yang berperan memfosforilasi protein kunci yang terlibat dalam pengaktifan gen-gen di dalam inti sel granulosa.
e.    Efek seluler.

Gambar 2.
Gambar skematik mekanisme kerja FSH dan LH pada sel target.
A. Sebelum terangsang hormon, enzim adenilat siklase inaktif (ACi).
B. Setelah terangsang hormon, kompleks hormon reseptor kemudian secara kaskade mengaktifkan subunit α protein G (α), subunit β protein G (β), subunit γ protein G (γ), dan enzim AC (ACa). Enzim AC mengubah adenosin trifosfat (ATP) menjadi siklik adenosinmonofosfat (cAMP). Guanosin trifosfat (GTP) mengalami fosforilasi (P) menjadi guanosin difosfat (GDP). Peran cAMP mengaktifkan protein kinase A (PKA) atau oleh enzim fosfodiesterase (PDE) diinaktifkan menjadi 5’AMP

In vitro, rangsangan FSH atau jumlah cAMP dapat ditingkatkan dengan cara :
a.         Menambahkan forskolin yaitu suatu senyawa yang berperan sebagai aktivator enzim adenilat siklase sehingga meningkatkan akumulasi cAMP.
b.        Menambahkan teofilin (methylxanthines) yaitu suatu senyawa yang berperan sebagai inhibitor aktivitas enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga menghambat pemecahan cAMP menjadi bentuk inaktifnya AMP.
c.         Choleragen: meningkatkan cAMP dan reseptor LH.
d.        Cholera toxin bersifat merangsang aktivitas AC pada berbagai sel.
e.         Bt2cAMP (dibutiril cAMP)
2.    Mekanisme kerja GnRH melalui 2 cara:
Mekanisme dependent-calcium ekstraseluler. GnRH berinteraksi dengan 3 protein membran: (1) reseptor untuk pengikatan ekstraseluler, (2) interaksi dengan protein G yang mengaktifkan enzim phospholipase C (PLC), dan (3) PLC mengaktifkan protein tirosin-kinase. Protein tirosin-kinase memfosforilasi tirosin untuk mengaktifkan enzim PLC yang berperan mengubah phosphatidylinositol 4,5-biphosphate (PIP2) menjadi 2 second messenger yaitu: (1) phosphatidylinositol triphosphate (IP3) yang berperan meningkatkan kadar Ca+2 intraseluler dari retikulum endoplasmik dan membuka pintu saluran masuk ion Ca+2 dari luar sel (ekstraseluler). (2) diacylglicerol (DAG) yang berperan mengaktifkan PKC di sitoplasma, selanjutnya PKC mengaktivasi transkripsi gena melalui proses fosforilasi untuk meningkatkan biosintesis GnH.
3.    Mekanisme kerja hormon insulin
a.       Insulin berikatan dengan reseptor spesifik (pada membran sel otot atau hepar) membentuk HR kompleks.
b.      HR kompleks merangsang ekspresi gena yang terlibat metabolisme glikogen.
c.       Efek seluler yang ditimbulkan adalah ® menurunkan kadar glukosa darah dan penyimpanan glukosa menjadi glikogen di otot dan hati.
4.    Mekanisme kerja hormon tiroksin
a.       Tiroksin masuk ke dalam sel ® T4 diubah menjadi T3 ® berikatan dengan reseptor spesifik (pada inti sel) membentuk HR kompleks.
b.      HR kompleks merangsang ekspresi gena yang terlibat dalam metabolisme secara umum (metabolic rate) ® mRNA ® protein.
c.       Efek seluler yang ditimbulkan ® meningkatkan metabolisme sel-sel tubuh.
5.    Mekanisme kerja hormon steroid
Mekanisme kerja hormon progesteron dalam merangsang pertumbuhuan endometrium.
a.       Hormon progesteron menembus dinding sel yang tersusun atas lipid bilayer menuju ke tempat reseptor spesifiknya yaitu di sitoplasma atau inti sel (R-P lebih banyak di sitoplasma, sedangkan R-E2 lebih banyak di inti sel).
b.      Ikatan hormon reseptor akan mengaktifkan bagian tertentu dari DNA dan memacu terjadinya proses transkripsi DNA menjadi mRNA (dipicu oleh polimerase RNA II).
c.       Selanjutnya mRNA akan menuju ke ribosom untuk sintesis protein baru yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhuan endometrium.
d.      Respon seluler: pertumbuhan endometrium.
6.    Mekanisme transduksi sinyal regulasi melibatkan protein kinase C (PKC).
a.       GnRH berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel dan mengaktifkan protein tirosin-kinase
b.      Protein tirosin-kinase memfosforilasi tirosin untuk mengaktifkan enzim fosfolipase C (phospholipase C, PLC)
c.       Enzim PLC berperan mengubah phosphatidylinositol 4,5-biphosphate (PIP2) menjadi 2 second messenger yaitu: phosphatidylinositol triphosphate (IP3) dan diacylglicerol (DAG).
d.      Phosphatidylinositol triphosphate (IP3) yang berperan meningkatkan kadar Ca+2 intraseluler dari retikulum endoplasmik dan membuka saluran masuk ion Ca dari luar sel (ekstraseluler) terjadi pembebasan GnH secara eksositosis.
e.       Diacylglicerol (DAG) yang berperan mengaktifkan protein kinase C (PKC) di sitoplasma, selanjutnya PKC mengaktivasi transkripsi gena melalui proses fosforilasi untuk meningkatkan biosintesis GnH.
f.        Respon seluler: peningkatan biosintesis dan sekresi GnH oleh sel gonadotrope.
7.    Mekanisme kerja hormon epinefrin
Mekanisme kerja hormon epinefrin melalui dua jalur yaitu lewat pengaktifan reseptor b-adrenergik dan a-adrenergik:
a.       Epinefrin berikatan dengan reseptor b-adrenergik (pada inti sel otot atau hepar) membentuk HR kompleks, kemudian mengaktifkan jalur kaskade cAMP.


b.      Epinefrin berikatan dengan reseptor a-adrenergik (pada inti sel otot atau hepar) membentuk HR kompleks, kemudian mengaktifkan jalur kaskade fosfoinositidase.
c.       merangsang ekspresi gena yang terlibat dalam metabolisme glikogen
d.      Efek seluler yang ditimbulkan adalah meningkatkan kadar glukosa untuk sumber energi aktifitas otot.


 DAFTAR PUSTAKA


Campbell. 1996. BIOLOGI jilid 1. Jakarta: Erlangga
Suryani, Yoni. 2004. Biologi Sel dan Molekuler. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Wolve, S.L. 1932. Introduction to Cell Biology. Wadswordh Publising Company Melmont, California.