Sabtu, 22 Mei 2010

HUTAN MANGROVE INDONESIA, SUMBER DAYA ALAM YANG TERLUPAKAN


A.     Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.

B.     Karakteristik Hutan Mangrove
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang–surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.  Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.  Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. 

C.     Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:


a.    Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO2 dan penghasil O2 serta mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Irawan (2005) melaporkan bahwa keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil resiko akibat dampak tsunami di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Daerah-daerah yang memiliki front zonasi mangrove kerusakannya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki front hutan mangrove. Adanya perubahan lingkungan ekosistem wilayah pesisir laut secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem komunitas yang berada di dalamnya, termasuk terhadap keanekaragaman jenis dan struktur komunitas yang berada dalam ekosistem tersebut.
b.    Fungsi Biologis
Merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria.
c.    Fungsi Sosial Ekonomi
Sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan.

D.    Kondisi Hutan Mangrove Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km dimana sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (Onrizal, 2002). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun. Data Wetlands International sebagaimana yang diungkapkan Drs. Pramudji, M.Sc. dalam orasi pengukuhan Profesor Risetnya 9 Desember lalu, memperlihatkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 tinggal sekitar 1,5 juta ha.
Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan pada tahun 1999/2000 menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranya atau sekitar 57,6 % dari luas hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar 69,8 % atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2 % atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove melalui pembangunan plot-plot percontohan penanaman mangrove yang sudah dilaksanakan oleh Ditjen RLPS sampai tahun 2001 hanya sekitar 21.130 ha.
Dalam penelitiannya, Pramudji membagi tingkat kerusakan mangrove itu ke dalam tiga kategori, yakni masih baik, sebagian rusak dan rusak berat. Kondisi terparah terdapat di pantai Utara Nangroe Aceh Darussalam, Teluk Lampung, Tanjung Pasir (Tangerang), Delta Mahakam (Kaltim), Lombok Barat dan teluk Saleh (NTB). Secara umum, kerusakan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor antrogenik, faktor alami dan faktor biologis. Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik di mana manusia menjadi pelaku utama perusakan itu. Eksploitasi hutan mangrove yang tidak terencana, adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal pertambakan, pertanian, penggaraman dan pemukiman, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap manfaat mangrove termasuk juga persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan mangrove sudah merupakan contoh konkrit bahwa manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove tersebut.
Konflik pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya degradasi baik fisik dan kwalitasnya. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang serius bagi banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambak-tambak beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Sedangkan faktor alam yang menyebabkan rusaknya mangrove antara lain seperti: banjir, kekeringan, hama penyakit, tsunami, dan kebakaran yang merupakan faktor penyebab relatif kecil (Tirtakusumah, 1994 dalam Rahmawaty, 2006).

E.     Upaya Pemulihan dan Pendayagunaan Potensi Hutan Mangrove
Pada dasarnya hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan. Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh hutan mangrove. Untuk itu perlu dikaji pendayagunaan potensi hutan mangrove, sebagai salah satu bagian dari ekosistem pesisir, secara berkelanjutan berbasis masyarakat.
Upaya menjaga kelestarian hutan mangrove dapat dilakukan melalui teknik silvofishery dan pendekatan bottom up dalam upaya rehabilitasi. Silvofishery merupakan teknik pertambakan ikan dan udang yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dalam hal ini adalah vegetasi hutan mangrove. Usaha ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove sehingga terjaga kelangsungan hidupnya.
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Selain itu, pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya.
Selama ini pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi pada beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas (pemerintah). Seperti suatu kebiasan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down.
Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek, yaitu saat dana telah habis, tentu saja pelaksana proyek tersebut merasa sudah habis pula tangung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan, mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek.
Karena pendekatan top down kurang memberdayakan masyarakat maka diterapkanlah pendekatan secara bottom up yang merupakan suatu teknik dalam rehabilitasi hutan mangrove yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Seyogyanya upaya pemulihan hutan mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian semua proses rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat sehingga masyarakat merasa memiliki dan akan selalu turut menjaga kelestarian hutan mangrove.
Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan jangka panjang. Pendekatan bottom up akan menumbuhkan partisipasi masyarakat juga sekaligus merupakan proses pendidikan bagi masyarakat.
Selain itu juga kondisi hutan mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.
Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan  mangrove, yaitu:
1.    Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
2.    Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.
Seperti kita ketahui bersama, tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove. Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove. 
Peraturan-peraturan daerah mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove merupakan hal yang penting sebagai pengontrol kegiatan masyarakat di kawasan tersebut untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab masyarakat,  larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan mangrove.
Menurut Khazali (2005), struktur sosial dan bentuk pemanfaatan serta intensitas interaksi wilayah pesisir oleh masyarakat perlu diketahui dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove agar kelompok target masyarakat yang terlibat, baik prioritas maupun bukan prioritas dapat ditentukan. Biasanya kelompok target prioritas adalah tokoh masyarakat, petambak, nelayan dan lain-lain. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove dan rencana penanaman yang akan dilaksanakan penting diketahui untuk memantau persepsi masyarakat terhadap mangrove. Jika persepsi masyarakat negatif atau tidak mendukung terhadap rencana kegiatan penanaman vegetasi mangrove, maka pertama kali yang harus dilaksanakan adalah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove dan pentingnya manfaat penanaman bagi mereka melalui pendidikan dan penyuluhan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain:
1.    Diskusi bersama masyarakat untuk memahami kondisi pantai saat ini dan sebelumnya.
2.    Mengidentifikasi dan menyadari bersama dampak hilang/rusaknya hutan mangrove.
3.    Menentukan dan menyepakati bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya hutan mangrove.
4.    Sosialisasi peraturan-peraturan yang berlaku tentang hutan mangrove.
5.    Studi banding untuk menyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat hutan mangrove, perencanaan dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, serta pembentukan kelompok masyarakat pengelola dan pelestari hutan mangrove. 

F.      Penutup
Upaya pemanfaatan sumber daya hutan mangrove perlu diselaraskan dengan upaya pelestariannya, agar fungsi hutan mangrove secara fisik, ekologis dan sosial-ekonomis tetap lestari dan berkelanjutan. Upaya-upaya yang dilakukan hendaknya melibatkan semua pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah, swasta, civitas akademika dan lembaga swadaya masyarakat serta pihak-pihak lain dalam bentuk kemitraan yang adil dan sejajar. Pelestarian ekosistem hutan mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan teknik silvofishery dalam usaha pertambakan yang berbasis lingkungan, penyuluhan serta pendekatan bottom up dalam usaha rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove. Selain itu upaya untuk kelestarian hutan mangrove dapat ditempuh dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional masyarakat (kearifan lokal) serta adanya peraturan-peraturan daerah yang mengatur serta mengontrol kegiatan masyarakat di kawasan hutan mangrove.


DAFTAR PUSTAKA

Eddy, Syaiful. 2008. Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Palembang . Jurusan Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.  
Khazali, M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. (Online), (http://www.pmdmahakam.org, diakses 20 Mei 2010).
Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M.Eidman. Jakarta: Gramedia.
Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, 20 Mei 2010).
Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, diakses 20 Mei 2010).
Walhi. 2006. Degradasi Hutan Bakau dan Akibatnya (Online), http://www.walhi.or.id, diakses 20 Mei 2010).

Minggu, 16 Mei 2010

EKOSISTEM MANGROVE


Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macneae 1968 dalam Anonim 2009). Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang – surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.
Faktor abiotik dari hutan mangrove meliputi faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia, seperti di bawah ini :


a.       Tanah
Tanah mangrove Tahura Ngurah Rai ini merupakan tanah alluvial yang dibawa sebagai sedimen dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay). Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda, sedangkan lumpur (mud) merupakan campuran dari lumpur halus dan lempung yang keduanya kaya bahan organik (detritus).
b.      Derajat Keasaman (pH)
Adanya kalsium dari cangkang moluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
c.       Oksigen
Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen, sehingga beberapa tumbuhan membentuk metode yang luar biasa untuk menyerap oksigen, seperti menumbuhkan akar pasak, akar lutut, akar penyangga, dan akar papan ke atas permukaan lumpur untuk memperolehn oksigen.
d.      Sinar, Suhu, dan Kelembapan
Kondisi di atas dataran lumpur terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut surut di siang hari menjadi sangat panas dan memantulkan cahaya, sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove terlindung dari sinar matahari dan tetap sejuk. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5°C dan suhu udara rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20°C. Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih kering dari pada hutan tropis pada umumnya karena adanya angin.
e.       Salinitas
Karena masih berada di bawah pengaruh air laut, maka hutan mangrove memilki salinitas yang cukup tinggi. Air payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt.
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1.    Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas :
a.    bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora, misalnya Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp. untuk mengambil oksigen dari udara
b.    bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel, misalnya Rhyzophora spp.
2.    Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
a.    Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
b.    Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
c.    Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3.    Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching dan Saenger (1987) telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993 dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Buku II).
Flora mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori (Chapman, 1984), yaitu
a.    Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove, contoh : Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphiphora, Smythea dan Dolichandrone.
b.    Flora mangrove peripheral (pinggiran), yaitu flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lain, contoh: Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera littorelis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.
Sedangkan Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :
a.    Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
b.    Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
c.    Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.
Flora mangrove umumnya di lapangan tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
a.    Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
b.    Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase.
c.    Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam.
d.    Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
e.    Pasokan dan aliran air tawar Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditekuman di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera, dan konsosiasi nipa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dan Rhizophora spp. sering ditemukan, terutama di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi (peralihan antara hutan mangrove dan hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda suatu tempat ke tempat lain dengan  variasi ketebalan dari beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dari garis pantai.
Hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat
(terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Secara garis besar, ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni :
a.    Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia dan serangga.
b.    Lobang pada cabang dan genangan air pada cagak antara batang dan cabang yang merupakan habitat untuk serangga (terutama nyamuk)
c.    Permukaan tanah sebagai habitat keong/kerang dan ikan glodok.
d.    Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.
e.    Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian :
1.    Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :
a.    Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang)
b.    Hasil bukan kayu (Hasil hutan ikutan (non kayu) dan Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya))
2.    Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya:
a.    Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang.
b.    Pengendalian instrusi air laut
c.    Habitat berbagai jenis fauna
d.    Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang
e.    Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
f.      Pengontrol penyakit malaria
g.    Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)